Bansos untuk Pengentasan Kemiskinan atau Tujuan Politik?
Bantuan sosial (bansos) semakin menjadi sorotan menjelang pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) pada 14 Februari mendatang. Bansos yang semakin agresif menjelang Pemilu dipandang tidak sekadar upaya negara membantu kelompok rentan, tapi juga dipandang sebagai upaya bermuatan politis.
Guru Besar Universitas Paramadina, Prof. Didin S Damanhuri menilai bantuan sosial saat ini sudah sangat jelas digunakan sebagai alat politik. Menurut Didin, penggelontoran besar-besaran bansos sekitar Rp500 triliun, terbesar selama reformasi, tidak didukung oleh data kemiskinan yang sebetulnya sudah agak menurun meski tidak signifikan.
“Jadi, semestinya kalau bansos digelontorkan dengan amat besar itu pertanda indikasi kemiskinan kembali meningkat, nyatanya kemiskinan sudah agak menurun, dan itu pertanda bansos telah menjadi alat politik, terlebih dibagikan menjelang pemilu 2024,” kata Didin dalam keterangan resminya.
Dalam forum yang digelar Universitas Paramadina bekerjasama dengan LP3ES bertajuk “Bansos, Pengentasan Kemiskinan atau Tujuan Politik?, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Dr. Elan Satriawan juga melihat bansos saat ini sudah menjadi alat tujuan utama dari politik. Bansos juga dikategorikan sangat penting untuk penanggulangan kemiskinan, faktanya hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Bansos seringkali dijadikan sebagai strategi tetapi juga sangat rentan terhadap upaya-upaya politisasi.
“Hal yang harus dilakukan untuk penanggulangan kemiskinan bukan hanya bansos saja yang seolah menjadi satu-satunya jalan, karena jelas tidak akan cukup. Harus ada program afirmasi yang dapat menghilangkan/mengatasi kendala-kendala yang membuat kelompok bawah/miskin, bisa relatif setara dengan rakyat yang lain,” kata Elan.
Elan memandang harus ada program perlindungan sosial yang berfungsi untuk melindungi agar kesejahteraan mereka tidak jatuh. Khususnya dalam situasi krisis, contohnya ada peristiwa penggusuran kaki lima, atau kepala keluarga yang sakit berkepanjangan, dan lainnya. Krisis yang sifatnya agregat atau pun yang unik per individu.
“Sayangnya program-program seperti UMKM, inklusifitas dan lain sebagainya tidak secara efektif dan sistematis dikaitkan dengan penanggulangan kemiskinan. Sejauh ini, yang dikenal masyarakat mengenai penanggulangan kemiskinan hanya Bansos,” kata Elan.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Dr. Ninasapti Triaswati melihat tujuan dari adanya bansos memang pencapaian target dengan tujuan politiknya pengentasan kemiskinan.
Menurut Ninasapti, sebenarnya tujuan bansos itu komprehensif, bukan hanya memberikan sejumlah uang atau makanan/pendidikan, tapi dengan meningkatkan kesejahteraan ekonomi melalui berbagai kebijakan ekonomi dan keuangan.
“Jika dibandingkan periode saat ini nilai bansos Rp 496 triliun, sedangkan periode lalu sebesar Rp476 triliun. Yang menjadi masalah bukan sekadar mencapai atau bahkan tepat sasaran tetapi juga soal pemerataan antar kelompok,” terang Nina.
Pada 2013 ke 2014, bansos yang digelontorkan sekitar Rp398 triliun, di akhir era Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebesar Rp439 triliun, ada kenaikan anggaran sekitar Rp40 triliun.
“Bahkan jika dilihat berdasarkan data, nilai bansos yang paling besar terjadi pada 2020 yaitu sebesar Rp498 T (Pandemi Covid). Kemudian terjadi penurunan kembali ke angka Rp397 T pada 2021. kemudian naik lagi di 2022 sebesar Rp431 dan Rp476 di tahun 2023. Dari angka-angka itu memang ada pertanyaan besar, apakah ada kepentingan yang muncul yakni kepentingan politik?” imbuh Nina.