Insan Humas Diminta Selalu Siap Hadapi Krisis, Begini Caranya
Dalam rangka mendukung kemajuan insan hubungan masyarakat (humas) atau public relations (PR) di Indonesia The Iconomics menyelenggarakan 5th Indonesia Public Relations Summit 2024. Mengangkat tema Consolidation for Reputation, The Iconomics memberikan penghargaan kepada insan PR yang memiliki keunggulan baik dari sisi kinerja maupun reputasi dalam tiap-tiap kategori.
Tidak hanya memberikan apresiasi, The Iconomics turut menggelar acara seminar yang bertujuan untuk memberikan pemahaman, ilmu baru, dan berbagi strategi bagi para insan PR. Dalam acara seminar, CEO Nexus Risk Mitigation & Strategic Communication Firsan Nova membahas soal pemikiran strategis untuk menghadapi situasi krisis.
Krisis, kata Firsan, merupakan suatu persoalan yang tidak bisa diduga datangnya, bisa terjadi kapan pun. Karena itu, seorang praktisi PR perlu mempersiapkan diri untuk menghadapi kondisi yang tidak bisa diduga tersebut.
“Sebetulnya ketika ada situasi yang kita sebut ancaman, tapi dari kita siap, krisis tidak akan terjadi,” kata Firsan di Auditorium Kemenparekraf, Jakarta, Jumat (9/8).
Untuk menghadapi situasi itu, kata Firsan, insan PR bisa bersiap dengan meningkat kapabilitas yang dapat menutup celah-celah persoalan yang rentan mengalami krisis. Dengan kapabilitas, insan PR bisa berpikir secara strategis untuk menjawab segala tantangan termasuk dalam menangani krisis yang dialami perusahaan atau institusi.
“Berpikir strategis untuk menutup jarak antara krisis yang terjadi dengan corporate capability. Kalau ada pesawat tiba-tiba turbulensi dan pilotnya jago, maka akan lewati itu. Karena ada kompetensi di situ untuk mengelola turbulensi yang terjadi,” ujar Firsan.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Public Relations Indonesia (APPRI) Sari Soegondo menambahkan, berdasarkan hasil jajak pendapat anggota-anggota APPRI, masih ditemui PR yang hanya fokus pada pekerjaannya. Dan cenderung hanya mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan media relations, dan tidak memahami fungsi lainnya sebagai PR.
Menurut Sari, insan humas harus memahami ide besar yang dijalankan oleh perusahaan, organisasi, atau institusi. “PR itu harus sadar bahwa dirinya merupakan bagian dari satu fungsi manajemen yang besar, dan bagian dari ilmu pemasaran itu sesungguhnya. Sayangnya banyak PR menyikapi secara sempit sehingga tidak memperhatikan pemangku kepentingan lainnya, yang diurusi hanya jurnalis, press, hanya media,” ujar Sari.
Karena itu, kata Sari, PR harus dibekali dengan pengetahuan yang mumpuni, khususnya dalam membangun relasi dengan investor, dan pemerintah. Apabila kemampuan tersebut tidak dimiliki, maka sulit bagi PR untuk mengatasi tantangan yang terjadi.
“Itu yang tidak boleh dilakukan. Yang Anda kerjakan seharusnya tidak hanya fokus pada yang dikerjakan sehari-hari saja tapi lihat ide besarnya,” kata Sari.
Sedangkan Director of Brand, Research and Strategy The Iconomics Alex Mulya mengatakan, untuk mengetahui sebuah, insan humas harus melakukan riset terlebih dahulu. Namun, riset yang dikerjakan harus tepat, dan tidak salah sasaran.
“Tapi kadang-kadang selalu begini ternyata, risetnya tentang brand equity tetapi isinya customer satisfaction. Bedanya itu kalau brand equity berkaitan dengan popularitas, brand awareness. Tapi kalau customer satisfaction itu biasanya lebih dalam. Ini terdengar sederhana tetapi sering saya temui,” kata Alex.
Atas dasar tersebut, kata Alex, praktisi humas untuk melakukan eksplor terlebih dahulu, dan mengumpulkan isu-isu yang tengah berkembang. Dengan mengambil langkah tersebut, PR dapat lebih mengetahui arah dan tujuan riset yang akan dilakukan.
“Teman-teman harus mengerti risetnya itu apa, dan jangan mengulang riset yang tahun lalu. Kadang-kadang kita riset dari tahun ke tahun hanya mengukur brand equity, dari tahun ke tahun hanya seperti itu,” kata Alex.