MAKI: Larangan Produk Impor di Bawah US$ 100 Potensi Rugikan Negara Rp 1,5 T

0
223
Reporter: Kristian Ginting

Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menduga ada rencana pemerintah merevisi Peraturan Menteri Perdagangan tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (E-Commerce) tahun 2020. Usulan mengubah Permendag disebut berasal dari Kementerian Koperasi (Kemenkop) dan UKM yang melarang importasi barang lewat e-commerce di bawah US$ 100.

Koordinator MAKI Boyamin Saiman menuturkan, pemerintah perlu memahami pengangkutan barang lewat pesawat udara (cross border) merupakan pendapatan umum (revenue generator) bagi negara dari sisi pajak. Karena itu, bila revisi Permendag itu jadi dilakukan, maka potensi pendapatan negara dari pajak triliunan per tahun akan hilang sekitar Rp 1,5 triliun hingga Rp 2,5 triliun.

“Tanpa proses resmi seperti cross border, maka importasi barang akan sulit diawasi dan dikendalikan alias penyelundupan akan marak. Sebagai gambaran cross border itu berbasis transportasi udara (air freight) dan melibatkan ongkos (cost logistics) yang tinggi hingga US$ 10 per kilogram dari awal pengangkufan (firstmile) hingga ke akhir pengangkutan (lastmile),” kata Boyamin dalam keterangan resminya, Jakarta, Jumat (18/8).

Biaya logistik cross border yang mahal itu, kata Boyamin, menjadikan hanya barang spesifik yang dapat dijual, dan faktor ini pula yang menggeser pola bisnis para penjual luar negeri. Pedagang dari luar negeri saat ini cenderung berkerja sama dengan penjual lokal melakukan importasi lewat laut (sea freight) dan begitu barangnya sampai di Indonesia baru dijual di platform lokal dengan harga murah sehingga justru ini yang mematikan bisnis UKM.

Baca Juga :   Gojek dan Grab Dukung Penyaluran KUR untuk UMKM Mitra Platform Digital

Kemenkop dan UKM, kata Boyamin, pernah membatasi 18 jenis barang termasuk pakaian muslim dengan sistem cross border pada 2020. Faktanya, e-commerce lokal tidak dilarang menjual pakaian muslim itu hingga saat ini dan harganya pun jauh lebih murah dari harga cross border.

“Tanpa cross border pun barang itu tetap diimpor karena tingginya permintaan. Bahkan, harga barang eks-impor itu bisa semakin murah karena dikirim lewat laut (sea freight) dan tentunya akan semakin laris,” ujar Boyamin.

Dengan demikian, kata Boyamin, pihaknya menilai Kemenkop dan UKM tergesa-gesa menyimpulkan cross border merugikan negara dan UMKM. Padahal bisnis tersebut penopang utama sektor logistik, airlines, pergudangan, kurir dan trucking.

Bahkan, lanjut Boyamin, ketika pandemi Covid-19 menghantam Indonesia, maskapai nasional masih bisa beroperasi karena mengangkut kargo cross border ketika ada larangan mengangkut penumpang.  Sektor e-commerce cross border dan logistiknya juga berkontribusi besar terhadap pemulihan perekonomian negara berkat ekspor cross border UMKM ke 6 negara Asean.

“Logistik di Indonesia saat ini juga menjadi sektor paling tinggi pertumbuhannya. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan sektor logistik Triwulan I/2023 tumbuh sebesar 15,93% secara tahunan (yoy),” kata Boyamin.

Baca Juga :   Hadirkan Kartu Debit Global Wallet Cara OCBC NISP Penuhi Kebutuhan Nasabah

Berdasarkan fakta ini, kata Boyamin, Kemenkop dan UKM harus cermat membedakan antara crossborder dan barang impor yang telah dijual di pasar lokal. Di sinilah pokok masalahnya bahwa persepsinya cross border mematikan UMKM, padahal sejatinya importasi tidak terkontrol atau black market-lah musuh utama UMKM.

Itu sebabnya, kata Boyamin, kebijakan yang melarang saja tanpa diikuti pengawasan, maka tidak akan efektif. Apalagi rencana mematikan cross border yang transparan dan patuh bayar pajak tentu secara tidak langsung mengarahkan semua importasi menjadi sulit dikontrol, dan cenderung ilegal.

“Sejatinya musuh bersama penyebab bangkrutnya UMKM dan industri lain sejak dulu adalah importasi ilegal atau black market yang berakibat predatory pricing dan lain sebagainya,” ujar Boyamin.

Dalam berbagai kajian di antaranya dari peneliti Indef pada 2021, kata Boyamin, menyebutkan platform e-commerce lokal menjual 90% barang impor. Tetapi, tidak pernah ada yang mempertanyakan apakah importasinya sesuai aturan dan terdaftar dengan deskripsi barang, kuantitas, HS Code sebagaimana importasi cross border. Dan, tentu saja itu lebih berbahaya ketimbang importasi dengan sistem resmi cross border yang dapat dipertanggungjawabkan.

Baca Juga :   Arsjad: Bersama Anindya Bakrie, Kita Sepakat Besarkan Kadin sebagai Rumah Pengusaha

“Untuk kebaikan negara dan mencegah kerugian negara, MAKI meminta pembatalan rencana revisi Permendag tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik itu,” katanya.

Sebelumnya di akhir Juli lalu, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mewacanakan revisi Permendag tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik tahun 2020. Tujuannya, pedagang yang berdomisili atau berlokasi di luar negeri nantinya tidak lagi bisa menjual barang dengan harga di bawah US$ 100 secara langsung ke marketplace yang menyediakan fasilitas cross border.

Dengan demikian, produk-produk impor yang dijual di e-commerce dalam negeri masuk melalui mekanisme importasi umum. Harapannya, harga jual produk impor tidak berbeda jauh dengan harga produk lokal karena dikenakan berbagai bea sesuai dengan ketentuan impor barang serta sesuai dengan standar dan persyaratan teknis yang berlaku di Indonesia.

 

Leave a reply

Iconomics