Menteri ESDM Beberkan Alasan Cabut IUP 4 Perusahaan dan Tak Cabut IUP Milik Anak Usaha Antam di Raja Ampat

Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, memberikan keterangan kepada pers bersama Menteri Sekretaris Negara, Sekretaris Kabinet, Menteri Kehutanan dan Menteri Lingkungan Hidup, terkait pertambangan di Raja Ampat, Papua Barat Daya, di Jakarta, Selasa (10/6).
Pemerintah mencabut izin usaha pertambangan (IUP) empat perusahaan di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Sementara, IUP milik PT Gag Nikel, milik perusahaan BUMN, PT Aneka Tambang Tbk (Antam) tak dicabut.
Keempat IUP yang dicabut adalah milik PT Kawei Sejahtera Mining yang beropersi di Pulau Kawe dan PT Mulia Raymond Perkasa yang beroperasi Pulau Batang Pale dan Pulau Manyafun.
Kemudian, IUP PT Anugerah Surya Pratama yang beroperasi Pulau Manuran dan PT Nurham yang beroperasi di Pulau Yesner Waigeo Timur.
Izin keempat perusahaan tersebut, menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, diberikan pada 2004 dan 2006 oleh pemerintah daerah.
Bahlil mengatakan IUP keempat perusahaan tersebut dicabut karena sebagiannya beroperasi di kawasan geopark Raja Ampat.
“Ditanya alasan (pencabutan), yang pertama masalah lingkungan, kedua, memang secara teknis setelah kami melihat, ini sebagian masuk di kawasan geopark dan ketiga adalah keputusan Ratas (rapat terbatas Kabinet pada 9 Juni), dengan mempertimbangkan masukan dari pemerintah daerah dan juga dari tokoh-tokoh masyarakat yang saya kunjungi,” ujar Bahlil dalam konferensi pers bersama Menteri Sekretaris Negara, Sekretaris Kabinet, Menteri Kehutanan dan Menteri Lingkungan Hidup di Jakarta, Selasa (10/6).
Sementara IUP PT Gag Nikel, kata Bahlil, lokasi operasinya di Pulau Gag yang berjarak sekitar 42 kilometer dari Pulau Piaynemo sebagai lokasi geopark Raja Ampat.
“Dia lebih dekat ke Maluku Utara dan dia bukan merupakan bagian kawasan geopark,” kata Bahlil.
Meski IUP PT Gag Nikel tak dicabut, Bahlil mengatakan pemerintah akan mengawasi ketat operasional perusahaan milik Antam itu.
“Sekalipun Gag tidak kita cabut, tetapi kita, atas perintah Bapak Presiden, kita mengawasi khusus dalam implementasinya. Jadi, Amdal-nya harus ketat, reklamasinya harus ketat, tidak boleh merusak terumbu karang. Jadi, betul-betul kita awasi terkait dengan urusan di Raja Ampat,” ujarnya.
Bahlil yang melakukan kunjungan ke Pulau Gag pada Sabtu 7 Juni, mengatakan dari lima IUP yang ada di Kabupaten Raja Ampat, hanya PT Gag Nikel yang mengajukan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) pada 2025 ini.
Sementara, empat perusahaan lainnya yang izinnya dicabut oleh pemerintah tidak memiliki RKAB.
Bahlil menjelaskan PT Gag Nikel, yang diizinnya diberikan oleh Pemerintah Pusat, memiliki luas konsesi 13.136 hektar.
Perusahaan tersebut sudah mulai melakukan eksplorasi sejak 1972. Kemudian pada 1998, Kontrak Karya (KK) ditandatangani. Pada 2006-2008, izin eksplorasinya diperpanjang. Kemudian tahap konstruksi dilakukan pada 2015-2017 dan mulai produksi pada 2018.
PT Gag Nikel yang memiliki rencana produksi 3 juta Wet Metric Ton pada 2024, 2025 dan 2026, sudah melakukan penambangan pada areal seluas 260 hektar dari luas konsesi 13.136 hektar.
Dari 260 hektar area yang sudah ditambang itu, kata Bahlil, 130 hektar sudah dilakukan reklamasi, dimana 54 hektar sudah dikembalikan ke negara.
“Lokasinya produksinya sekarang masih ada 130 hektar. Nanti setelah ini direklamasi,” ujarnya.
Aktivitas pertambangan di Raja Ampat, daerah yang dikenal sebagai destinasi wisata, menjadi sorotan setelah aktivis Greenpeace Indonesia bersama empat anak muda Papua dari Raja Ampat menggelar aksi damai di sela-sela acara Indonesia Critical Minerals Conference 2025 di Jakarta pada 3 Juni.
Saat Wakil Menteri Luar Negeri, Arief Havas Oegroseno berpidato dalam acara itu, aktivis Greenpeace Indonesia bersama empat anak muda Papua dari Raja Ampat itu menerbangkan banner bertuliskan “What’s the True Cost of Your Nickel?”. Mereka juga membentangkan spanduk dengan pesan “Nickel Mines Destroy Lives” dan “Save Raja Ampat from Nickel Mining”
Selain di ruang ruang konferensi, mereka juga membentangkan banner di exhibition area yang terletak di luar ruang konferensi.
Pesan-pesan lain yang berbunyi “What’s the True Cost of Your Nickel”, “Nickel Mines Destroy Lives”, dan “Save Raja Ampat the Last Paradise” terpampang di antara gerai-gerai dan para pengunjung pameran.
“Saat pemerintah dan oligarki tambang membahas bagaimana mengembangkan industri nikel dalam konferensi ini, masyarakat dan Bumi kita sudah membayar harga mahal. Industrialisasi nikel–yang makin masif seiring tren naiknya permintaan mobil listrik–telah menghancurkan hutan, tanah, sungai, dan laut di berbagai daerah, mulai dari Morowali, Konawe Utara, Kabaena, Wawonii, Halmahera, hingga Obi. Kini tambang nikel juga mengancam Raja Ampat, Papua, tempat dengan keanekaragaman hayati yang amat kaya yang sering dijuluki sebagai surga terakhir di bumi,” kata Iqbal Damanik, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.
Leave a reply
