Para Terdakwa di Kasus PT Asabri Menolak Disidangkan Secara Bersamaan
Para terdakwa kasus dugaan korupsi PT Asabri (Persero) menolak disidangkan secara bersamaan. Pasalnya, kasus yang menimpa para terdakwa disebut berbeda waktu dan peran sehingga dinilai tidak akan efektif serta mengaburkan peran tiap-tiap terdakwa.
Fajar Gora kuasa hukum terdakwa Benny Tjokrosaputro (PT Hanson International), misalnya, mengatakan, meski penolakan memicu kemarahan majelis hakim tapi itu merupakan hak para terdakwa. Apalagi nomor perkara dari 8 terdakwa itu berbeda-beda.
“Artinya perbuatan yang didakwakan kepada masing-masing terdakwa juga berbeda,” kata Fajar dalam keterangannya beberapa waktu lalu.
Menurut Fajar, apabila perkara tersebut diperiksa secara bersamaan, maka itu sungguh aneh. Ditambah lagi majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara ini hanya satu dan jika perkaranya digabungkan, maka akan memakan waktu sangat lama dan bisa berpengaruh terhadap putusan hakim.
“Mungkin saja, karena terlalu lelah maka bisa saja berpengaruh tidak saja pada majelis hakim, tapi juga saksi, dan penasehat hukum para terdakwa,” kata Fajar.
Fajar lantas membandingkan kasus tersebut dengan terdakwa 13 manajer investasi (MI) dalam kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang disidangkan secara terpisah. Bahkan majelis hakim yang menyidangkannya pun lebih dari satu sehingga sidang dapat dilakukan secara terpisah dan efektif.
Sementara itu, Kresna Hutauruk kuasa hukum Heru Hidayat, mengatakan, keberatan yang disampaikan oleh para kuasa hukum bukanlah untuk membuat kericuhan, namun bagian dari usaha membela hak-hak para terdakwa. Apalagi alasan penolakan itu sangat jelas bahwa berkas perkara 8 terdakwa dilimpahkan ke pengadilan secara terpisah.
“Dengan demikian, ada 8 nomor perkara,” ujar Kresna.
Dengan adanya perbedaan nomor perkara, kata Kresna, tentunya sidang harus dilakukan secara terpisah sebagaimana nomor perkara tiap-tiap terdakwa. Secara materi perkara tentunya bahwa uraian kepada setiap terdakwa baik waktu maupun perbuatannya berbeda-beda dan tidak saling berkaitan, sehingga tidak mungkin disidangkan bersamaan.
Terkait dengan alasan teknis, kata Kresna, juga sangat menyulitkan para penasihat hukum dalam melakukan pembelaan. Jika digabung persidangannya, jumlah penasihat hukum yang dibolehkan bersidang hanya dua orang.
“Dengan demikian, kami tidak mungkin melakukan pembelaan secara maksimal, mengingat berkas perkara ini sangat banyak,” ujar Kresna.
Kondisi tersebut, kata Kresna, sangat menyulitkan apabila 8 terdakwa disidangkan oleh majelis hakim yang sama. Dan alangkah baiknya majelis hakim ditambah dan dipecah setiap perkaranya, sehingga akan memudahkan persidangan.
“Selain itu juga, demi para saksi juga yang apabila majelisnya tetap sama, mereka harus hadir 3 hari berturut-turut, apabila majelis dipecah dan ditambah, tentunya pemanggilan para saksi dapat diatur secara silih berganti dan sidang lebih efektif,” kata Kresna.
Sebelumnya 8 terdakwa yang menolak disidangkan secara bersamaan itu adalah Adam Damiri (Direktur Utama PT Asabri periode 2011-2016); Sonny Widjaja (Dirut PT Asabri periode 2016-2020); Bachtiar Effendi (Direktur Keuangan PT Asabri periode 2008-2014); Hari Setiono (Direktur PT Asabri periode 2013-2014 dan 2015-2019).
Selanjutnya, Lukman Purnomosidi (Dirut PT Prima Jaringan); Jimmy Sutopo (Direktur PT Jakarta Emiten Investor Relation); Benny Tjokrosaputro (Dirut PT Hanson Internasional Tbk); serta Heru Hidayat (Komisaris PT Trada Alam Mineral atau TRAM).