Semangat Reformasi Dinilai Masih Relevan untuk Transformasi Pemulihan Ekonomi
Semangat reformasi dinilai masih relevan terutama dikaitkan dengan transformasi pemulihan ekonomi dari krisis-krisis yang pernah melanda Indonesia. Krisis moneter pada 1998 yang memicu krisis keuangan di beberapa negara Asean termasuk Indonesia, juga berdampak terhadap situasi politik kala itu.
“Pemulihan daripada krisis moneter 98 ini baru bisa tertanggulangi sekitar 4 tahun. Ekonomi bisa pulih sesudah seluruh tata perekonomian dan tata struktur dari politik, termasuk perundang-undangan hampir seluruhnya d reformasi. Termasuk pembentukan KPPU dan KPK, pada saat itu,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto di Universitas Trisakti, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Airlangga menuturkan, memasuki periode 2008, Indonesia kembali dilanda krisis akibat ketidakpastian perbankan global yang membuat pasar modal berhenti waktu itu. Jangka waktu pemulihan ekonomi krisis 2008, hanya berlangsung sekitar 2 tahun.
Berjarak lebih dari satu dekade, kata Airlangga, terutama pada pertengahan 2020, Indonesia kembali dihantam krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19. Meski demikian, dengan segala strategi kebijakan dan upaya yang dilakukan pemerintah, saat ini pandemi Covid-19 berangsur-angsur menurun.
“Alhamdulillah hari ini penanganan Covid-19 di Indonesia sudah mulai landai di mana kasus harian di bawah 600 dan berbagai wilayah Level 2 atau Level 1. Ini kita berterima kasih kepada seluruh stakeholders yang ada termasuk para mahasiswa, dosen, yang khusus di Jakarta sudah divaksinasi lebih dari 90% dosis pertama, dosis kedua, bahkan sudah booster,” ujar Airlangga.
Belum usai pandemi Covid-19, menurut Airlangga, Indonesia kembali dihadapkan dalam situasi yang tidak pasti akibat adanya geopolitik perang antara Rusia dan Ukraina. Dampak perang Rusia dan Ukraina menyebabkan beberapa harga komoditas mengalami kenaikan.
Menurut Airlangga, komoditas yang paling berdampak di sektor energi karena harga batu bara, nikel, emas, kelapa sawit, dan bahan bakar minyak (BBM) melonjak. Harga batu bara, misalnya, sempat menyentuh posisi US$ 400 per ton. Sementara, kelapa sawit sempat berada di posisi Rp 1.700 per kilogram, turun di Rp 1.500 per kilogram, dan kembali naik di 1.600 per kilogram.
Dari sisi kenaikan BBM, kata Airlangga, pemerintah tidak membebankannya kepada masyarakat secara langsung. Kebijakan tersebut, menjadi faktor pembeda antara pemerintah Indonesia dengan negara-negara lain.
“Jadi ini lebih cepat daripada pada saat krisis-krisis yang lain. Indonesia memang mengambil kebijakan berbeda dengan negara lain, Indonesia adalah salah satu negara yang mengambil kebijakan gas dan rem, yaitu menyeimbangkan antara kehidupan dan penghidupan. Jadi menyelamatkan nyawa manusia dan juga menyelamatkan pekerjaan,” katanya.