Studi IFG Progress; Unit Link Bukan Produk yang Menjanjikan Imbal Hasil Maksimal untuk Investasi
IFG Research Institute atau IFG Progress – lembaga think tank di bawah Indonesia Financial Group (IFG) mengingatkan masyarakat bahwa produk unit link atau PAYDI tidak memberikan imbal hasil (return) yang memuaskan. Karena itu, bila ingin mendapatkan hasil yang maksimal dari investasi, sekalian saja berinvestasi pada instrumen pasar modal atau deposito.
Senior Executive Vice President IFG Progress Reza Y Siregar mengatakan produk unit link memang diminati masyarakat. Bahkan tak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara regional dengan tingkat perkembangan asuransi yang lebih baik dari Indonesia.
Reze menjelaskan esensi unit link merupakan pengembangan produk asuransi tradisional dengan menambahkan komponen investasi didalamnya. Pada dasarnya melalui produk unit link ini, perusahaan asuransi ingin memberikan dua manfaat sekaligus yaitu proteksi dan investasi.
Konsekuensinya, dari premi yang dibayarkan pemegang polis, tidak semuanya dialokasikan untuk proteksi, tetapi sebagian lainnya untuk investasi.
“Misalnya, tiap bulan saya bayar polis saya. Misalnya cost kalau saya main konvensonal [asuransi tradisional] Rp100 ribu, di unit link ada sebagian dari uang itu juga diinvestasikan dan kemudian itu menghasilkan. Namanya juga investasi. Untuk apa? Untuk mengurangi cost saya sebetulnya. Mengurangi biaya asuransi saya,” ujar Reza saat ditemui di sela-sela acara IFG International Conference 2023 di Hotel Shangri La, Jakarta.
Reza mengatakan selama ini ada mispersespi dari masyarakat terkait unit link. Kesalahan ini juga terjadi karena pemasaran yang salah dari pihak asuransi.
Menurutnya, meski ada embel-embel investasi di dalamnya, unit link tetap merupakan produk asuransi, bukan investasi. Karena itu, bila ingin mendapatkan imbal hasil maksimal, unit link bukan merupakan instrumen yang tepat.
“Kalau ingin investasi dengan highest return, ya sudah sekalian saja deposito atau beli SBN atau main di capital market. Kemungkinan besar return-nya akan lebih besar,” ujar Reza.
Reza mengatakan hasil investasi dari unit link hanya untuk mengurangi beban biaya asuransi, bukan memberikan imbal hasil maksimal.
“Jangka panjang studi kami, sampai 20 tahun juga hampir enggak ada return, cuma memang dia mengurangi biaya asuransi. Jadi unit link itu ada aspek proteksinya – karena dia memang asuransi – tetapi juga ada aspek investasinya untuk mengurangi biaya proteksi,” ujarnya.
Reza membandingkan unit link dan deposito. Dengan bungan 5% per tahun, instrumen deposito jauh lebih menjanjikan imbal hasil dibandingkan unit link.
“Kemungkinan besar dalam waktu setahun dua tahun hasil deposito itu lebih tinggi daripada main di unit link. Tetapi di deposito tidak punya asuransi coverage. Di unit link punya asuransi coverage-nya,”ujarnya.
Alokasi premi produk Unit Link
Imbal hasil mini pada unit link tidak terlepas dari alokasi investasi dari premi yang dibayarkan oleh pemegang polis. Studi yang dilakukan IFG Progress mengungkapkan premi yang dibayarkan oleh pemegang polis unit link pada beberapa tahun pertama memang tidak banyak untuk investasi. Bahkan biaya investasi jauh lebih kecil dari biaya akuisisi. Biaya akuisisi adalah biaya pengelolaan polis yang didalamnya sudah termasuk biaya komisi agen atau bank.
Struktur biaya (cost structure) pada produk unit link terbagi menjadi dua metode yaitu metode front-end load dan metode backend load. Pada metode front-end load biaya akuisisi dibebankan pada awal lima tahun pertama, sedangkan metode back-end load biaya akuisisi biasanya hanya dibebankan pada satu tahun pertama, namun terdapat biaya penebusan polis apabila terjadi pembatalan (surrender) pada kurun waktu yang ditentukan.
Berdasarkan pengamatan IFG Progress, mayoritas metode back-end load akan mengenakan biaya penebusan polis pada kurun waktu tujuh tahun pertama. Secara rata-rata, struktur alokasi premi pada lima tahun pertama sebagian besar digunakan untuk pembayaran biaya akuisisi dan biaya bulanan termasuk biaya asuransi serta biaya administrasi.
Berdasarkan obaservasi IFG Progress dengan menggunakan metode front-end load, biaya akuisisi pada lima tahun pertama secara rata-rata mencapai 35% per tahun, biaya asuransi sekitar 41%-57% per tahun, besarnya biaya asuransi akan bergantung kepada usia, jenis kelamin, penyakit bawaan dan manfaat tambahan yang dipilih. Terakhir biaya administrasi yang dikenakan sekitar 2%-3% per tahun.
Tingginya biaya-biaya pada lima tahun pertama membuat porsi dana investasi yang terbentuk relatif kecil, dibawah 15% dari total premi yang sudah dibayarkan.
Sejarah Unit Link di Indonesia
Mengitip kajian IFG Progress , produk unit link di Indonesia mulai aktif dikomersilkan pada periode tahun 1998—2000 oleh beberapa perusahaan asuransi asing berskala besar dengan menawarkan imbal hasil yang menjanjikan.
Melihat penjualan produk yang semakin meluas, Kementerian Keuangan melakukan legalisasi melalui Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor KEP-2475/LK/2004 tentang Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi, yang kemudian diperbaharui oleh Bapepam LK dengan mengeluarkan Keputusan Nomor KEP-104/BL/2006 tentang Produk Unit Link. Keputusan tersebut kemudian disempurnakan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui POJK Nomor 23/POJK.05/2015.
Di awal kemunculannya di Indonesia, produk unit link banyak diminati oleh masyarakat. Terlihat pada tahun 1998, jumlah pemegang polis unit link tercatat 3,3 juta jiwa atau sekitar 16% dari total polis asuransi jiwa secara keseluruhan.
Pasca krisis finansial 1997, jumlah pemegang polis unit link mengalami penurunan yang sangat drastis di tahun 1999. Banyak nasabah yang memutuskan untuk melakukan surrender dan tidak melanjutkan pembayaran premi akibat kesulitan pendanaan.
Sepanjang tahun 2000—2006, pemegang polis unit link mulai membaik dan cenderung tumbuh di setiap tahunnya, akan tetapi memasuki tahun 2008 kondisi pasar unit link terkontraksi seiring dengan kembali menurunnya perekonomian akibat subprime mortgage crisis.
Pada tahun 2009, aktivitas unit link mencatatkan lonjakan kenaikan hingga 25% yoy sejalan dengan mulai banyaknya inovasi perusahaan asuransi jiwa di Indonesia yang menawarkan variasi produk unit link yang dikaitkan dengan manfaat pada dana pendidikan dan kesehatan.
Sepanjang tahun 2010—2017, jumlah pemegang polis unit link terus mencatatkan pertumbuhan di setiap tahunnya. Seiring dengan kondisi perekonomian yang kembali melemah akibat pandemi Covid-19, jumlah polis terlihat mengalami penurunan sepanjang tahun 2020—2021.
Berdasarkan gambaran tersebut, IFG Progress menyimpulkan bahwa konsumen produk unit link melihat produk ini lebih dari sisi investasi, dan permintaan terhadap produk asuransi ini terbukti sangat erat kaitannya
dengan kondisi perekonomian dan kinerja pasar modal.
Kontribusi Mulai Menurun
Berdasarkan data Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) pendapatan premi asuransi jiwa di Indonesia pada semester pertama 2023 mengalami kontraksi 9,9% yoy menjadi Rp86,23 triliun. Penurunan pendapatan premi ini terjadi karena menurunnya pendapatan dari produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi (PAYDI) atau unit link. Penurunan pendapatan premi PAYDI terjadi sebagai dampak dari pengetatan pemasaran produk PAYDI melalui Surat Edaran (SE) OJK No.5 tahun 2022.
Pendapatan premi produk PAYDI atau unit link pada semester pertama 2023 tercatat sebesar Rp42,56 turun 24,9% yoy. Sementara produk asuransi jiwa tradisional mengalami kenaikan sebesar 12% yoy menjadi Rp43,67 triliun.
Tak hanya turun, dominasi produk PAYDI juga untuk pertama kalinya kalah oleh produk asuransi jiwa tradisional, meskipun selisihnya tipis. Porsi premi produk asuransi tradisional menjadi 50,6% terhadap total pendapatan premi. Sementara porsi premi produk PAYDI menjadi 49,4% terhadap total premi.