BI Perkirakan Dampak Tapering Lebih Rendah Dibanding Kebijakan Serupa Tahun 2013

Gedung Bank Indonesia/Anadolu Agency
Bank Indoneisa (BI) terus melakukan pemantauan dan penilaian (assessment) terhadap perkembangan kebijakan moneter bank sentral Amerika Serkat (Federal Reserve/Fed), baik terkait pengurangan likuiditas atau tapering maupun kenaikan suku bunga Fed Fund Rate yang saat ini berada pada level 0-0,25% sejak 16 Maret 2020 lalu.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan Fed diperkirakan akan memulai tapering pada November 2021 ini dan berlanjut pada tahun depan. Sedangkan kenaikan Fed Fund Rate diperkirakan dilakukan pada kuartal ketiga tahun 2022.
“Dengan berbagai assessment [mingguan dan bulanan] dan juga kondisi ekonomi Indonesia dan berbagai pengalaman yang kami lakukan, insyaallah dampak dari tapering tentu saja bisa diantisipasi secara baik dan tentu saja lebih rendah kalau dibandingkan dengan taper tantrum pada tahun 2013,” ujar Perry, menjawab pertanyaan media pada konferensi pers, Selasa (21/9).
Taper tantrum adalah kebijakan mengurangi nilai pembelian aset, seperti obligasi atau quantitative easing (QE) oleh Fed pada tahun 2013 lalu. QE dilakukan Fed sebagai respons atas krisis keuangan tahun 2008.
Menurut Perry, ada tiga alasan, mengapa dampak tapering atau pengurangan likuiditas kali ini lebih rendah dari taper tantrum tahun 2013.
Pertama, kejelasan komunikasi yang dilakukan oleh Fed kepada investor, media dan masyarakat mengenai dasar keputusan melakukan tapering sehingga pasar bisa memahami.
Ada pun keputusan melakukan tapering, menurut Perry, dilakukan dengan mempertimbangkan tidak saja pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi Amerika Serikat, tetapi juga dampaknya pada tingkat pengangguran di negara itu.
“Komunikasi yang baik [dari Fed] itu diterima dan dipahami oleh pasar dan itu kelihatan dari indikator yang terus kami pantau yaitu US Treasury yield yaitu imbal suku bunga surat berharga negara atau obligasi yang dikeluarkan oleh pemerintah Amerika Serikat,” ujar Perry.
Menurut Perry, meski dalam jangka panjang ada kecenderungan kenaikan imbal hasil obligasi pemeirintah Amerika Serikat, tetapi kenaikannya tidak terlalu signifikan dan kenaikannya itu secara bertahap. Mengutip data US Department of the Treasury, saat ini, imbal hasil obligasi pemerintah Amerika Serikat tenor 10 tahun berada di level 1,31%. Kondisi saat ini, menurut Perry, berbeda dengan pada saat taper tantrum pada April-Mei 2013, dimana dalam tempo satu sampai dua bulan imbal hasil obligasi pemerintah Amerika Serikat tenor 10 tahun naik menjadi 3,5%.
Alasan kedua, mengapa Bank Indonesia perkirakan dampak tapering relatif lebih kecil dibanding taper tantrum, adalah upaya bersama antara Bank Indonesia dan Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan RI untuk melakukan stabilisasi pasar. Bank Indonesia sendiri, terang Perry, melakukan stabilisasi nilai tukar Rupiah melalui triple intervention yaitu intervensi di pasar spot, transaksi Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF) dan pembelian SBN di pasar sekunder.
Perry mengatakan sejak awal tahun hingga sekarang, kecuali pada Februari 2021, Bank Indonesia tidak banyak melakukan intervensi di pasar. Stabilitas nilai tukar Rupiah saat ini lebih karena bekerjanya mekanisme pasar.
“Ingat Rupiah tidak hanya merespons perkembangan yang sekarang tetapi juga ekspektasi ke depan. Sehingga informasi-informasi itu juga sudah dipahami dan sudah terefleksi dari perkembangan Rupaih,” ujarnya.
Indikator lainnya, jelas Perry, imbal hasil atau yield Surat Berharga Negara (SBN) yang pada awal tahun sempat naik ke 6,7% hingga 6,8%, sekarang lebih rendah.
“Ini kelihatan bahwa kejelasan komunikasi Fed diterima secara baik oleh investor, oleh pasar dan kemudian terefleksi pada perkembangan nilai tukar Rupiah dan yield SBN sesuai mekanisme pasar,” ujar Perry.
Alasan ketiga, mengapa Bank Indonesia perkirakan dampak tapering ini jauh lebih rendah dari taper tantrum, adalah karena ketahanan ekonomi Indonesia yang jauh lebih kuat.
Indikatornya adalah defisit transaksi berjalan yang rendah. Bank Indonesia memperkirakan defisit transaksi berjalan tahun ini berada pada rentang 0,6% sampai 1,4% dari PDB. Bandingkan dengan defisit transaksi berjalan pada tahun 2018 yang bahkan lenbih dari 3% dari PDB.
Ketahanan eksternal Indonesia juga tercermin pada jumlah cadangan devisa yang sebesar US$144,4 miliar.