Prabowo, Anies dan Ganjar Belum Ada yang Dominan

0
345

Iconomics - Pengamat Ekonomi Politik Prof. Didik J. Rachbini melihat pemilihan presiden (Pilpres) mendatang diperkirakan masih akan penuh kampanye dengan kebencian. Menurut Didik, etika politik di Indonesia tidak diperhatikan, dengan penggunaan buzzer politik yang jahat sekali men-downgrade lawan politik.

“Contoh kasus efektivitas buzzer adalah kasus KPK dengan memunculkan isu Taliban dan non Taliban di KPK ketika undang-undang KPK hendak diamandemen. Isu ini berhasil, rakyat dan mahasiswa gagal mempertahankan KPK dalam wujud yang asli,” kata Didik dalam keterangan pers tertulis.

Didik melihat sudah ada tokoh-tokoh yang popularitasnya tinggi sehingga upaya bersaing dalam pencapresan ini memang harus melihat peluang keberhasilan dari survei popularitas politik. Menurut Rektor Universitas Paramadina ini, dari banyak lembaga survei beberapa saja yang kredibel dan sisanya melakukan akrobat.

Ia juga menyatakan bahwa hasil survei harus memperhatikan waktu karena setelah 8 bulan hasil survei bisa dinyatakan tidak valid. “Berbeda dengan dulu Jokowi dan Prabowo yang sejak awal di 2013 telah mempunyai tingkat popularitas yang konsisten tinggi, bahkan Prabowo sebelum Jokowi muncul punya popularitas yang sangat tinggi,” ujarnya.

Baca Juga :   Golkar Buka Pintu untuk Ganjar Jadi Capres Jika PDI Perjuangan Tak Mengusungnya di 2024

Yang masih perlu diperhatikan dan diedukasi terhadap peta like and dislike figur politik hendaknya tidak seperti pilpres 2019 yang menjadikan masyarakat terbelah.  “Figur yang populer mendekati waktu pilpres sebenarnya akan terlihat sehingga yang tidak perlu ngotot untuk menang dan para pesaing tidak boleh melakukan kampanye negatif sehingga pilpres menjadi ajang permusuhan anak bangsa,” katanya.

Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan Ph.D mengungkapkan bahwa dalam dua setengah tahun menjelang 2024 ada 3 lapis pengelompokan para calon presiden mendatang dari berbagai survei.

Menurut Djayadi, terdapat figur papan atas publik seperti Prabowo Subiyanto, Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo yang berbeda tipis dalam popularitas.

Djayadi juga menyatakan jika survei nasional menggunakan sampel 1200 dalam margin error kisaran 2,9% maka perbedaan antara para calon tersebut berada dalam rentang 2 kali margin of error, atau tidak terlalu signifikan perbedaannya.  Ia menyimpulkan ketiga orang itu memang front runner saat ini..

Djayadi yang juga dosen senior Ilmu Politik di Universitas Paramadina ini memberikan catatan bahwa dari ketiga orang itu juga tidak ada nama yang dominan. Angka mereka berada pada kisaran 20%-an jika diadu dengan banyak nama.

Baca Juga :   Keputusan Nasdem Usung Anies Jadi Bakal Capres Dinilai Pengaruhi Koalisi Parpol 2024

“Jika pada 2024 nanti ada 3 pasang calon yang paling mungkin misalnya, maka ketiga orang tersebut akan disebut mencapai angka dominan jika telah mencapai angka popularitas 30-35% diantara 10-15 nama. Tetapi saat ini angka mereka baru sekitar 20-25% saja,” kata Djayadi menjelaskan.

Ia membandingkan dengan pilpres sebelumnya Prabowo dan Jokowi memang menjadi calon-calon yang dominan ketimbang calon yang lain. Ia menyatakan Pilpres 2024 mendatang masih membuka peluang bagi siapapun untuk leading karena belum ada yang dominan.

Ada juga papan tengah (10 besar) seperti Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Sandiaga S. Uno dan seterusnya. Serta ada juga figur partai politik yang berada di luar 10 besar seperti Puan Maharani, Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dan Airlangga Hartarto.

Djayadi pun mengungkap alasan para calon di luar 10 besar memilih strategi memasang baliho, iklan di TV, dan sosmed untuk meningkatkan popularitas. Baliho dan televisi menjadi pilihan utama karena menurut Djayadi, tingkat kepedulian publik pada medsos di Indonesia masih di bawah 60% dibandingkan TV yang berdasar survei masih ditonton 80% masyarakat.

Leave a reply

Iconomics
Close