CSIS Nilai Dampak Putusan PN Jakpus Munculkan Wacana Penundaan Pemilu 2024

Tangkapan layar, Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Arya Fernandes/Iconomics
Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menilai putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) soal penundaan pemilu dapat menimbulkan ketidakpastian baru terkait proses pelaksanaan Pemilu 2024. Dampaknya setidaknya akan memunculkan wacana penundaan pemilu yang seharusnya dilakukan secara teratur dan rigid.
Menurut Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Arya Fernandes, setidaknya pengaruh putusan PN Jakpus akan membuat partai politik peserta Pemilu 2024, melakukan konsolidasi. “Kalau kita dengar sebagian besar partai politik memberikan tanggapan yang pada intinya menunjukkan ketidaksetujuan terkait keputusan PN Jakpus tersebut,” kata Arya dalam diskusi virtual, Jumat (3/3).
Selain itu, kata Arya, diskursus penundaan tersebut juga dapat merugikan partai politik, calon presiden (capres), dan calon legislatif (caleg). Padahal, DPR dan pemerintah secara resmi telah menyepakati Pemilu 2024 akan dilaksanakan pada 14 Februari 2024.
“Karena kalau diskursus ini kembali mengemuka, tentu, akan muncul ketidakpastian baru terkait waktu pemilu. Ini bisa menjadi sumber ketidakpastian baru dan ini tidak menguntungkan bagi kandidat caleg dan capres, dan bagi partai politik,” ujar Arya.
Di sisi lain, kata Arya, penundaan pemilu juga berpotensi meningkatkan pembiayaan partai politik di Tanah Air. Dengan ketidakpastian itu, para kandidat dan partai politik akan dihadapi pada situasi kesulitan untuk melakukan fundraising politik.
“Karena saat ini dengan adanya ketidakpastian para filantropis-filantropis akan menunggu waktu yang tepat untuk melakukan fundraising. Ini tentu tidak menguntungkan kandidat dan partai politik. Itu analisa situasinya,” tutur Arya.
Perubahan waktu penyelenggaraan pemilu, kata Arya, juga dinilai bertentangan dengan konstitusi, lantaran waktu pelaksanaannya diatur secara 5 tahunan. “Dengan adanya kepastian pengaturan waktu pemilu yang rigid 5 tahun sekali itu penting, supaya ada kepastian politik bagi partai politik, terutama dalam hal melakukan nominasi kandidat,” katanya.
Sebelumnya, Partai Prima menggugat KPU dan bermula dari verifikasi administrasi partai politik calon peserta pemilu yang dilakukan KPU kepada Partai Prima. Dalam rekapitulasi hasil verifikasi partai politik peserta pemilu, KPU menyatakan Partai Prima Tidak Memenuhi Syarat (TMS) dan tidak bisa mengikuti verifikasi faktual.
Setelah Partai Prima mempelajari dan mencermatinya, jenis dokumen yang sebelumnya dinyatakan TMS, ternyata KPU juga menyatakan Memenuhi Syarat dan hanya menemukan sebagian kecil permasalahan. Partai Prima juga menyebut KPU tidak teliti dalam melakukan verifikasi yang menyebabkan keanggotannya dinyatakan TMS di 22 provinsi.
Akibat dari kesalahan dan ketidaktelitian KPU, Partai Prima mengaku mengalami kerugian immateriil yang mempengaruhi anggotanya di seluruh Indonesia.
Dari salinan putusan PN Jakarta Pusat, terdapat 7 hal dalam pokok perkara yang dikabulkan majelis hakim. Pertama, menerima gugatan penggugat untuk seluruhnya. Kedua, menyatakan penggugat adalah partai politik yang dirugikan dalam verifikasi administrasi oleh tergugat.
Ketiga, menyatakan tergugat telah melakukan perbuatan melanggar hukum. Keempat, menghukum tergugat membayar ganti rugi materiil sebesar Rp 500 juta kepada penggugat. Kelima, menghukum tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari.
Keenam, menyatakan putusan perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu secara serta merta (uitvoerbaar bij voorraad). Ketujuh, menetapkan biaya perkara dibebankan kepada tergugat sebesar Rp 410 ribu.
Adapun majelis hakim yang mengadili perkara tersebut adalah T. Oyong (Hakim Ketua), H. Bakri (Hakim Anggota) dan Dominggus Silaban (Hakim Anggota).