Kejaksaan Tak Berwenang Sidik Kasus Tersangka Mafia Migor Jika Pakai UU Perdagangan

0
727
Reporter: Kristian Ginting

Iconomics - Pengamat hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Ganjar Laksmana Bondan menilai Kejaksaan Agung tidak berwenang menangani kasus dugaan tindak pidana pemberian fasilitas crude palm oil (CPO) dan turunannya pada periode Januari hingga Maret 2022. Pasalnya, keempat tersangka termasuk Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Indrasari Wisnu Wardhana dikenakan Undang-Undang (UU) tentang Perdagangan tahun 2014.

“Menurut saya tindak pidana yang diatur di UU Perdagangan adalah pidana umum bukan pidana khusus. Kejaksaan (RI) nggak berwenang,” kata Ganjar saat dihubungi lewat aplikasi perpesanan Whatsapp, Kamis (21/4).

Ganjar menuturkan, merujuk kepada UU tersebut, pemerintah dapat membatasi eskpor dan impor untuk kepentingan nasional. Apabila ada pelanggaran dalam hal itu, maka rujukannya pada Pasal 112 yang berbunyi “Eksportir yang mengekspor Barang yang ditetapkan sebagai Barang yang dilarang untuk diekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).”

Selanjutnya, kata Ganjar, masih merujuk kepada UU Perdagangan tersebut, apabila ada pelanggaran terhadap aturan tersebut, maka penyidik yang berwenang adalah Kepolisian RI (Polri) dan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS). “Kewenangan ini termuat dalam Pasal 103 ayat 1 dan 2,” ujar Ganjar.

Sementara itu, pakar hukum tata negara Refly Harun mengatakan, kewenangan Kejaksaan RI menyidik pidana khusus terkait dengan korupsi. Para tersangka kasus ini dikenakan UU tentang Perdagangan. Lantas apakah UU Perdagangan ini masuk pidana khusus dan menjadi kewenangan dari Kejaksaan?

Baca Juga :   Proyek Alat Intelijen Kejagung: Jawaban Anggota Komisi III, IAW Curigai Dugaan Duplikasi

“Deliknya tetap delik korupsi,” ujar Refly tanpa ada penjelasan lebih lanjut.

Soal kasus ini, wartawan The Iconomics mencoba menghubungi Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah lewat Whatsapp apakah kasus yang membelit keempat tersangka kategori suap atau gratifikasi? Pesan yang terkirim itu hanya dibaca Febrie karena bercentang 2, berwarna biru.

Sebelumnya, Jaksa Agung ST Burhanuddin mengumumkan 4 tersangka kasus dugaan tindak pidana pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) dan turunannya pada periode Januari hingga Maret 2022. Keempat tersangka itu terdiri atas pejabat eselon I Kemendag dan 3 dari swasta.

Dalam keterangan resminya pada 19 April lalu, Jaksa Agung Burhanuddin mengatakan, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Indrasari Wisnu Wardhana melakukan perbuatan yang melawan secara hukum dengan menerbitkan persetujuan ekspor CPO dan produk turunannya kepada Permata Hijau Group, Wilmar Nabati Indonesia, PT Multimas Nabati Asahan, dan PT Musim Mas.

Selain Indrasari, 3 tersangka lainnya meliputi Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Group Stanley MA; Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor; dan Manager General Affair PT Musim Mas Pierre Togar Sitanggang. Ketiga tersangka disebut secara intens berkomunikasi dengan IWW.

Jaksa Agung Burhanuddin menyebutkan perbuatan para tersangka disangka melanggar Pasal 54 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a,b,e dan f UU tentang Perdagangan. Lalu, Keputusan Menteri Perdagangan No. 129 Tahun 2022 jo No. 170 Tahun 2022 tentang Penetapan Jumlah untuk Distribusi Kebutuhan Dalam Negeri (Domestic Market Obligation) dan Harga Penjualan di Dalam Negeri (Domestic Price Obligation); terakhir, Ketentuan Bab II Huruf A angka (1) huruf b, Jo. Bab II huruf C angka 4 huruf c Peraturan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri No. 02/DAGLU/PER/1/2022 tentang petunjuk teknis pelaksanaan kebijakan dan pengaturan ekspor CPO, RDB Palm Olein dan UCO.

Baca Juga :   Babak Lanjutan Biodiesel, Implementasi B35 akan Dimulai 1 Februari 2023

Terlepas dari proses hukum yang dilakukan Kejaksaan Agung saat ini, agaknya sulit menyebut ada pelanggaran dalam kebijakan DMO dan DPO terkait minyak goreng. Mengapa? Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Edy Priyono, misalnya, pada Maret lalu mengatakan,  sebenarnya dengan batas DMO 20% secara hitungan di atas kertas sudah bisa mencukupi kebutuhan bahan baku.

Merujuk data data Kementerian Perdagangan terkait setoran DMO periode 14 Februari hingga 8 Maret 2022, bahan baku minyak goreng (CPO) mencapai 573.890 ton. Dari jumlah itu yang sudah didistribusikan sebanyak 415.787 ton atau setara dengan 72,4% dari total DMO. Berdasarkan data tersebut, maka sebenarnya sudah mencukupi karena kebutuhan dalam negeri hanya sekitar 320 ribu lebih ton per bulan.

Seperti Edy, Menteri Perdagangan M. Lutfi juga mengatakan demikian. Bahkan dengan jumlah tersebut, mestinya stabilisasi minyak goreng sudah berlangsung. Namun, kenyataannya waktu itu minyak goreng masih langka. Untuk kekinian stok minyak goreng sudah melimpah tapi harganya melambung.

Sementara itu, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Oke Nurwan menuturkan, selama periode penerapan kebijakan DMO dan DPO, pihaknya telah menerbitkan 162 persetujuan ekspor kepada 59 eksportir. Dari persetujuan ekspor tersebut, realisasi DMO mencapai 720 ribu ton atau 20,7% dari total ekspor CPO dan produk turunannya.

Baca Juga :   Aspakrindo akan Patuhi PerBa Baru Mengenai Pedoman Penyelenggaraan Perdagangan Pasar Fisik Aset Kripto

Dari 720 ribu ton tersebut, kata Oke, dilaporkan telah terdistribusi sebanyak 529 ribu ton. “Artinya sudah sangat banyak atau 73,4% dari yang dilaporkan terdistribusi kepada masyarakat dalam bentuk minyak goreng curah dan kemasan di pasar rakyat dan retail modern,” ujar Oke pada 13 April lalu.

Menurut Oke, kebutuhan konsumsi rumah tangga atas minyak goreng hanya 327 juta liter per bulan. “Realisasi pendistribusian minyak goreng hasil DMO dan DPO ini telah melebihi hingga 1,5 kali dari kebutuhan konsumsi nasional. Namun, yang terjadi justru banyak kekosongan stok di pasar rakyat maupun retail modern. Hasil analisis kami terdapat hambatan distribusi atau pun adanya penyaluran yang tidak sesuai dengan peruntukannya,” ujar Oke.

Merujuk perkataan Oke itu, maka permasalahan minyak goreng ini hanya karena distribusi atau penyaluran yang tidak sesuai peruntukannya. Lalu, mengapa Kejaksaan Agung menilai ada pelanggaran dalam pemberian fasilitas ekspor CPO jika DMO bahan baku minyak goreng dalam negeri sudah berlimpah?

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics
Close