Masih Kontroversi, DPR Tetap Ketok RUU Kesehatan Jadi UU

0
209
Reporter: Rommy Yudhistira

Kendati mendapat penolakan dari dokter dan tenaga kesehatan lainnya, DPR tetap mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesehatan menjadi UU. Dari 9 fraksi, 2 menolak dan 1 menerima tapi dengan catatan serta sisanya menyetujui RUU tersebut diketok sebagai UU.

Soal itu, Ketua DPR Puan Maharani mengatakan, pengesahan RUU Kesehatan telah melewati proses pembahasan di Komisi IX. Juga disebut memperhatikan aspirasi yang disampaikan para pelaku pelayanan kesehatan.

Seluruh hak-hak tenaga kesehatan yang tercantum dalam RUU Kesehatan, kata Puan, dipastikan tidak hilang, malah cenderung meningkatkan kesejahteraan para tenaga kesehatan untuk hidup yang lebih baik lagi. Tenaga kesehatan sebagai mitra strategis dalam memenuhi hak dasar masyarakat untuk memperoleh layanan kesehatan dinilai patut mendapat apresiasi.

“Untuk itu, tenaga kesehatan perlu mendapatkan perlindungan hukum yang layak,” kata Puan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/7).

Selanjutnya, kata Puan, DPR berkomitmen mengawal pelaksanaan UU Kesehatan agar bisa berjalan dengan baik dan adil. DPR akan memperhatikan sejumlah aspek di UU tersebut yang meliputi perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan, pasien, dan peningkatan kualitas pelayanan sistem kesehatan.

Baca Juga :   Kontroversi Ojol Dalam Revisi UU LLAJ: Antara Inovasi dan Kesejahteraan Sopir

Dari sisi pembahasan RUU itu, kata Puan, pihaknya telah melibatkan seluruh stakeholders baik masyarakat secara umum, tenaga kesehatan maupun para ahli dalam bidangnya. “Tentunya partisipasi publik telah memperkaya wawasan untuk penyempurnaan konsepsi UU Kesehatan,” ujar Puan.

Kemudian, kata Puan, RUU dengan metode omnibus law itu diharapkan dapat memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik bagi masyarakat. Juga mampu memberikan masyarakat akses atas layanan kesehatan yang berkualitas di Indonesia.

“DPR berharap dapat menjadi perpanjangan aspirasi publik dengan pertimbangan transformasi sistem kesehatan melalui legislasi yang sesuai kebutuhan,” kata Puan.

Secara terpisah, organisasi non-profit sektor kesehatan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (Cisdi) menilai, penyusunan RUU Kesehatan terkesan terburu-buru dan tidak transparan. Setidaknya, kata pendiri dan CEO Cisdi Diah Satyani Saminarsih, ada 4 masalah yang terdapat dalam draf daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU Kesehatan.

“Pengesahan RUU Kesehatan menjadi UU membuktikan pemerintah dan DPR mengabaikan aspirasi masyarakat sipil. Kami mengecam proses perumusan UU yang seharusnya inklusif, partisipatif, transparan, dan berbasis bukti,” kata Diah.

Baca Juga :   DPR Tunda Rapat Gabungan Bahas Kenaikan Sembako karena Mendag Lutfi Tak Hadir

Diah menjelaskan, pihaknya mencatat beberapa isu substansi yang belum terselesaikan hingga RUU tersebut disahkan menjadi UU. Pertama, RUU Kesehatan menghapuskan alokasi anggaran kesehatan minimal 10% dari APBN dan APBD. Padahal, masih ada 58 dari 514 kabupaten/kota di Indonesia yang proporsi anggaran kesehatannya di bawah 10% pada 2021.

Kedua, lanjut Diah, RUU Kesehatan belum dengan jelas menguatkan kader kesehatan melalui pemberian insentif upah dan non-upah secara layak. RUU yang telah disahkan ini juga belum melembagakan peran kader sebagai sumber daya manusia kesehatan (SDMK), tepatnya tenaga pendukung atau penunjang kesehatan seperti yang direkomendasikan WHO.

Ketiga, kata Diah, komitmen pemerintah dan DPR masih belum tegas karena belum ada penegasan regulasi iklan, promosi, dan sponsorship tembakau. Tanpa regulasi yang jelas, anak-anak di Indonesia akan mudah terpapar dan terdorong untuk merokok. Tentunya ini akan berdampak besar baik secara jangka pendek maupun panjang.

Leave a reply

Iconomics