SPI: Harga TBS Sawit Anjlok Setelah Aturan Larangan Ekspor CPO dan Turunannya Berlaku
Serikat Petani Indonesia (SPI) menyebut harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit turun setelah kebijakan larangan sementara ekspor crude palm oil (CPO) dan turunannya diterbitkan. Penurunan harga tersebut juga karena pengusaha tidak mematuhi peraturan pemerintah soal harga TBS sawit di tingkat petani.
Ketua Umum SPI Henry Saragih mengatakan, pihaknya mencatat terdapat pabrik kelapa sawit (PKS) milik PTPN (Persero) di Sungai Bahar, Jambi, membeli TBS di angka Rp 17.00/kilogram (kg). Lalu, di Batanghari, Jambi, TBS sawit masih di kisaran harga RP 1.000-1.500/kg.
Selanjutnya, kata Henry, perubahan cepat juga terjadi di tingkat pengepul sawit di mana harga TBS sawit anjlok ke angka Rp 1.000/kg dari sebelumnya sebesar Rp 1.500/kg. Bahkan, disebutkan juga banyak petani yang membawa pulang kembali TBS sawit lantaran tidak ada yang mau membeli.
“Di Riau, harga TBS petani Rp 1.500-Rp 1.600/kg, bahkan masih ada harga TBS petani yang dibeli kurang dari Rp 1.000/kg,” kata Henry dalam keterangan resminya, Jumat (29/4).
Karena itu, kata Henry, pihaknya menekankan agar para pelaku usaha dapat mematuhi peraturan dan imbauan yang disampaikan pemerintah soal pembelian TBS sawit dengan harga normal sesuai yang berlaku di tiap-tiap daerah. Pemerintah juga perlu memberikan sanksi tegas kepada PKS yang tidak mematuhi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 Tahun 2022 tentang larangan ekspor sementara CPO dan turunannya itu.
“Jika PKS tidak bisa, tidak mau, harus diberikan sanksi sesuai dengan Permentan No. 1/2018, yang merujuk pada UU Nomor 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Perlintan) dan kebijakan lainnya yang melindungi harga produksi petani,” ujarnya.
Di sisa masa jabatan Presiden Joko Widodo, kata Henry, seharusnya pemerintah dapat menempatkan komoditas kelapa sawit sebagai kebijakan nasional yang strategis untuk kepentingan nasional, bukan untuk segelintir orang saja. Sebagaimana yang tertuang di Pasal 33 UUD 1945 dan UU Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960, izin dan konsesi perkebunan oleh korporasi yang luasnya sangat besar harus dikoreksi dan ditinjau kembali.
Pun demikian mengenai penyelesaian konflik agraria di antara petani dengan perusahaan perkebunan sawit yang begitu banyak dalam kurun waktu 50 tahun terakhir ini. “Belum lagi murahnya upah/gaji buruh perkebunan, kerusakan lingkungan, sampai dengan pengemplangan pajak oleh korporasi sawit,” ujar Henry.
Menurut Henry, perkebunan sawit baik dari urusan tanaman, pabrik CPO maupun turunannya, pengelolaannya dilakukan secara koperasi kepada petani. “Korporasi swasta bisa diikutkan di urusan pengolahan industri lanjutan, misalnya untuk pabrik sabun, kosmetik, obatan-obatan, dan usaha-usaha industri lainnya,” katanya.