AAJI Sebut Ada Beberapa Modus Memalsukan Dokumen Klaim Asuransi Jiwa, Apa Saja?

0
777
Reporter: Rommy Yudhistira

Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) membeberkan beberapa modus mengenai klaim asuransi jiwa fiktif yang dilakukan pemegang polis. Salah satu modus operandinya dengan memalsukan surat keterangan kematian.

“Memang kalau di Jakarta tidak terlalu menonjol, tapi di beberapa daerah itu ada usaha-usaha seperti itu. Kami di asuransi jiwa bisa untuk mem-blow up dokumen palsu karena melakukan penyelidikan,” kata Ketua Bidang Regulasi, Kepatutan, dan Litigasi AAJI Rudi Kamdani dalam acara media gathering, Bandung, Jumat (1/7).

Rudy mengatakan, dalam beberapa kasus, ditemukan dokumen-dokumen yang diajukan tidak sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam polis. Karena itu, perusahaan asuransi jiwa terlebih dahulu mengecek secara ketat untuk menghindari pemalsuan dokumen.

“Bukan berarti kami begitu, ada klaim tidak diterima. Kami melakukan pengecekan. Apa benar dokumen yang dikeluarkan itu oleh pihak yang berwenang,” ujar Rudy.

Menurut Rudy, pengecekan ketat dilakukan untuk memastikan dokumen yang diklaim tidak palsu. Berdasarkan pengalaman, ada kasus pemegang polis yang bekerja sama dengan oknum pihak berwenang untuk mengeluarkan dokumen palsu.

Baca Juga :   OJK: Penetrasi Rendah, Ruang Pertumbuhan Industri Asuransi di Indonesia Masih Lebar

Fakta seperti itu, kata Rudy, pernah terjadi dalam kasus kecelakaan yang menyebabkan kematian di Kalimalang, Jakarta. Setelah dilakukan pengecekan, kejadian tersebut murni rekayasa atau fiktif.

“Untuk hal ini sebenarnya, kalau korban nyemplung terus hilang atau mati karena hanyut, tidak semudah itu. Karena dalam surat kematian yang bisa menjelaskan seseorang itu mati harus ada persyaratannya,” kata Rudy.

Merujuk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), kata Rudy, diatur tentang ketentuan mengenai seseorang akan dinyatakan hilang dan meninggal setelah melewati masa waktu tertentu. Waktunya bisa 5 tahun atau 10 tahun. Yang pasti ada ketentuan yang mengaturnya.

“Tapi kalau pun misalnya,  mau mengajukan seseorang itu hilang atau mati, itu harus ditetapkan melalui pengadilan. Jadi tidak semudah itu,” kata Rudy.

Sementara, modus lainnya, kata Rudy, pernah terjadi dalam asuransi jiwa yaitu mengenai pembelian produk asuransi yang dalam prosesnya terjadi pemalsuan data terhadap orang yang sudah terlebih dahulu meninggal. “Jadi ada orang yang sudah meninggal dibeli, kemudian beberapa minggu kemudian diklaim. Sudah pasti ada pemalsuan dokumen, dan bagaimana yang bersangkutan itu meninggal,” ujar Rudy.

Baca Juga :   Jajaran Direksi dan Komisaris Jamkrindo Berubah, Berikut Susunannya

Modus berikutnya, lanjut Rudy, mengenai pemalsuan dokumen yang tidak menggunakan identitas sebenarnya. Pemegang polis memalsukan identitas diri dengan harapan untuk mendapatkan klaim dari asuransi jiwa.

“Mungkin ada orang yang usianya sudah 60 tahun. Untuk suatu produk asuransi tertentu itu sudah tidak layak untuk diasuransikan. Menggunakan KTP dengan umur yang dimudakan,” tutur Rudy.

Klaim asuransi jiwa, kata Rudy, mengecualikan hal-hal tertentu yang memang bisa dipertimbangkan dengan berkoordinasi bersama pihak-pihak terkait seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sehingga dalam prosesnya memiliki aturan tersendiri. “Seperti yang terjadi pada tahun 2004 tsunami (di Aceh). Waktu itu kami berkoordinasi dengan OJK. Ini suatu bencana nasional. Itu ada aturan-aturan tersendiri,” ujarnya.

Leave a reply

Iconomics