Mesin-Mesin Pertumbuhan Sudah Berfungsi, Ekonomi Indonesia Tumbuh 5,01% pada Triwulan Pertama 2022
Gerak ekonomi Indonesia sudah kembali ke jalur normal, sama seperti sebelum pandemi Covid-19 melanda. Pada triwulan pertama 2022, ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,01% secara year on year (yoy), sama seperti periode sebelum pandemi Covid-19 melanda dunia dan Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyampaikan nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia atas dasar harga berlaku pada triwulan pertama 2022 sebesar Rp4.513 triliun dan PDB atas dasar harga konstan sebesar Rp2.819 triliun. Dengan kondisi PDB tersebut, pertumbuhan PDB Indonesia pada triwulan pertama 2022 bila dibandingkan dengan triwulan empat tahun 2021 (QtoQ) mengalami kontraksi sebesar 0,96%. Namun, bila dibandingkan dengan triwulan satu tahun 2021 (year on year), PDB Indonesia mengalami pertumbuhan sebesar 5,01%.
“Tingginya angka pertumbuhan ekonomi pada Q1-2022 ini, selain karena pulihnya aktivitas ekonomi masyarakat, faktor lain juga karen ada low base effect pada Q1-2021 dimana kita tahu ekonomi Indonesia pada Q1-2021 itu terkontraksi 0,70%,” ujar Kepala BPS Margo Yuwono dalam konferensi pers, Senin (9/5).
Margo menjelaskan berdasarkan lapangan usaha, hanya ada dua sektor yang mengalami kontraksi atau pertumbuhan negatif yaitu administrasi pemerintahan (-1,45%) dan jasa pendidikan (-1,70%). Sementara sektor-sektor lainnya mengalami pertumbuhan positif.
“Hampir semua sektor mengalami pertumbuhan, artinya mesin-mesin pertumbuhan semuanya sudah mulai berfungsi,” ujar Margo.
Sektor industri pengolahan tumbuh 5,07%; perdagangan tumbuh 5,71%; pertanian tumbuh 1,16%, pertambangan tumbuh 3,82% dan konstruksi tumbuh 4,83%. Kelima sektor ini merupakan penyumbang 65,74% PDB Indonesia pada triwulan pertama 2022 ini.
Sektor-sektor lain yang juga tumbuh positif adalah transprotasi dan pergudangan (+15,79%), infokom (+7,14%), jasa keuangan (1,64%), real estat (+3,78%), akomodasi & makan minum (+6.56%), jasa lainnya (+8,24%), jasa perusahaan (+5,96%), jasa kesehatan (+4,38%), pengadaan listrik dan gas (+7.04%) dan pengadaan air (+1,29%).
Margo menjelaskan pertumbuhan tinggi pada sektor transportasi dan pergudangan terjadi karena mobilitas masyarakat yang sudah semakin baik seiring dengan pandemi yang terkendali. Selain itu, pertumbuhan pada sektor transportasi dan pergudangan juga didorong oleh beberapa kegiatan baik secara nasional maupun internasiobal dan juga ada indikasi peningkatan transaksi perdagangan daring (e-commerce).
Sementara, kontraksi pada sektor administrasi pemerintahan terjadi karena realisasi belanja pegawai terutama dari APBD mengalami kontraksi sebesar 4,09%. Demikian juga jasa pendidikan, kontraksi terjadi karena penurunan belanja pegawai untuk sektor pendidikan sebesar 0,24%.
Hal yang sama juga bila PDB dipotret dari sisi pengeluaran. Berdasarkan kelompok pengeluaran, hanya komponen konsumsi pemerintah yang mengalami kontraksi (-7,74%), sementara komponen lain mengalami pertumbuhan. Komponen konsumsi rumah tangga dan investasi (PMTB) yang merupakan dua komponen utama PDB (84,09%), masing-masing tumbuh 4,34% dan 4,09%.
Komponenen ekspor dan impor mengalami pertumbuhan impresif masing-masing 15.22% dan 15,03%. Sedangkan, komponen konsumsi lembaga non profit (LNPRT) juga tumbuh sebesar 5,98%.
Margo mengatakan konsumsi rumah tangga tumbuh 4,34% terjadi, selain karena faktor mobilitas penduduk yang semakin baik, juga karena masyarakat sudah mulai melakukan konsumsi atau kegiatan di sektor tersier seperti hotel, angkutan, restoran dan sebagainya.
Sementara komponen PMTB tumbuh 4,09% terutama didukung oleh peningkatan penjualan semen di dalam negeri dan peningkatan penjualan kendaraan untuk barang modal baik yang berasal dari domestik maupun impor. Ekspor yang tumbuh impresif terjadi karena peningaktan harga komoditas terutama komoditas andalan Indonesia.
Margo mengatakan konsumsi pemerintah mengalami kontraksi karena belanja barang dan belanja sosial pada triwulan pertama 2022 menurun seiring dengan kondisi pandemi yang semakin baik. “Pada Q1 tahun lalu, kasus Covid-19 tinggi sehingga pemerintah mengalokasikan belanja barang dan belanja sosial untuk penanangan Covid-19 sangat tinggi. Tetapi, untuk Q1-2022 karena kondisi sudah membaik pemerintah mengurangi belanja barang dan belanja sosial untuk penanganan Covid-19,” jelas Margo.