Chatib: Akan Ada Revisi Proyeksi Kebijakan Fiskal untuk Antisipasi Ancaman Resesi 2023
Indonesia terus mempersiapkan diri dalam menghadapi ancaman resesi global yang diperkirakan terjadi pada 2023. Dampak dari situasi itu disebut terlihat dari jika suku bunga naik, maka akan berdampak pada produksi komoditas dan energi.
“Ini kelihatan bahwa komoditas itu harganya turun. Padahal ekspor kita itu 60% adalah energi dan commodity related. Jadi bisa dibayangkan, kalau harganya turun, ekspor kita turun. yang tidak turun mungkin batu bara,” kata Komisaris Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk M. Chatib Basri dalam sebuah diskusi beberapa waktu lalu.
Chatib menuturkan, 2 hal tersebut akan menjadi faktor beberapa negara melakukan revisi terhadap proyeksi kebijakan fiskal, untuk mengantisipasi kemungkinan resesi yang akan terjadi.
“Kalau dilihat perbedaan dengan proyeksi 2022, itu semuanya negatif. Kecuali mungkin Argentina yang tidak di-refiscal. Yang lain itu semuanya negatif. Artinya semuanya itu diprediksi turun proyeksinya (PDB). Ini kalau diprediksi turun, maka permintaan terhadap energi turun. Pasti ini gejala ini yang dianggap, dikhawatirkan sebagai resesi global,” ujar Chatib.
Situasi akan semakin keruh, kata Chatib, apabila kondisi rupiah semakin melemah akibat adanya penguatan dolar Amerika Serikat (AS). Ada 2 faktor yang membuat dolar menguat di tengah situasi resesi global.
Pertama, kata Chatib, meski AS mengalami resesi, kondisi tersebut masih lebih baik jika dibandingkan dengan keadaan ekonomi di Eropa. Kedua, AS merupakan negara net eksportir untuk komoditi energi, yang mana apabila sektor energi mengalami kenaikan akibat resesi, maka dolar diperkirakan akan semakin kuat.
“AS naikin bunganya sehingga dalam kondisi seperti itu kita akan melihat dolarnya strong, Ini yang menjelaskan kenapa rupiah mengalami pelemahan Rp 15.358 kalau saya tidak salah. Berarti kita akan berhadapan dengan rupiah yang melemah,” ujar Chatib.
Dampak dari pelemahan rupiah, kata Chatib, akan berimbas pada sisi ekspor yang menjadi lebih kompetitif, dan memberikan efek pada neraca keuangan. Nilai tukar juga dapat mempengaruhi penyusutan pada neraca keuangan setiap perusahaan.
Meski, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan mengambil kebijakan seperti relaksasi kredit, dan lainnya, implikasi resesi global diperkirakan tetap akan menjadi momok bagi situasi perekonomian nasional pada 2023 mendatang. “Jadi ini risiko-risiko yang dihadapi. Baik dari segi makro sampai di level perusahaan itu pasti akan terjadi kontraksi,” kata Chatib.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, saat ini pemerintah sedang melakukan langkah-langkah antisipasi, dengan menghitung skenario terburuk yang akan terjadi.
Kendati demikian, kata Luhut, jika dibandingkan dengan situasi yang terjadi di berbagai negara, kondisi ekonomi Indonesia masih terbilang lebih baik. Namun, disarankan agar seluruh pihak tetap berhati-hati dalam menyikapi persoalan tersebut.
“Kemarin Ibu Menkeu (Sri Mulyani Indrawati) menyampaikan ada 28 negara yang sudah antre masuk IMF. Kita jauh, mungkin salah satu negara terbaik pada hari ini. Tapi sekali lagi kita tidak boleh jumawa di situ, karena apa saja dalam ke depan bisa terjadi,” kata Luhut.