Gubernur BI Perkirakan Tapering di Amerika Belum Dilakukan Tahun Ini
Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo memperkirakan bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve (Fed), belum melakukan tapering off atau pengurangan pembelian surat berharga di pasar surat utang, pada tahun 2021 ini. Meski demikian, sebagai langkah antisipatif, BI dan unsur Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang lain tetap melakukan koordinsi intentif untuk merumuskan kebijakan yang tepat.
“Bacan-bacaan kami, kemungkinan kalau Fed itu tapering tahun ini atau mulai pengetatan tahun ini, kayaknya kok belum ya,” ujar Perry, menjawab pertanyaan anggota Komisi XI DPR RI, saat rapat kerja antara Komisi XI dan KSSK, Senin (14/6).
Menurut Perry, meskipun inflasi di Amerika Serikat sudah tinggi, tetapi tingkat pengangguran masih belum mendekati level long term yaitu 3,7%. “Sekarang unemployment di Amerika itu sekitar 6%. Itu kenapa Fed selalu mengatakan kenaikan inflasi ini temporer, belum merupakan faktor fundamental,” jelasnya.
Tetapi lanjut Perry, tahun depan memang diperkirakan Fed kemungkinan akan melakukan pengetatan kebijakan moneternya.
Perry mengungkapkan Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan tetap selalu berkoordinasi untuk mengantisipasi setiap perubahan yang terjadi dari sisi eksternal termasuk kebijakan bank sentral Amerika Serikat.
“Kalau antisipasi terhadap tapering, kami itu hampir setiap minggu ketemu. Di BI ada rapat dewan gubernur mingguan kami melakukan assessment. Demikian juga kami dengan Bu Menteri Keuangan, bahkan Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Pak Lucky dan kawan BI itu selalu berkomunikasi terus bagaimana mengantisipasi, melakukan langkah-langkah bersama supaya tidak berimbas ke dalam negeri,” ujar Perry.
Ia menyatakan bahwa respons yang dilakukan pada tahun ini adalah melalui stabilisasi nilai tukar dan SBN dengan tetap menjaga BI rate pada level rendah. Kenaikan yield atau imbal hasil SBN, menurutnya tetap terjadi, namun terukur, di saat yield US Treasury naik.
“Kalau yield US Treasury-nya naik enggak mungkin yield SBN-nya tetap. Boleh naik tetapi jangan terlalu volatile. Itu barangkali intervensi stabilitasi yang selalu kami lakukan bersama Bu Menkeu dengan BI,”ujarnya.
Ada pun yield US Treasury, tambahnya naik dari 1,3% menjadi 1,6%. Sedangkan, di dalam negeri yield SBN naik dari 6,16% menjadi sekitar 6,4%. “Itu adalah suatu kenaikan yang wajar. Rupiahnya juga terdepresiasi sekitar 2,3%. Dibanding negara lain cukup wajar. Itu bisa dilakukan tanpa harus kami menaikan suku bunga di dalam negeri, tanpa harus melakukan pengetatan likuiditas,” ujar Perry.