Lain Bulan Lalu, Lain Sekarang, Bank Indonesia Kerek Suku Bunga Acuan  ke 6%

0
125

Di luar dugaan, Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan  BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 basis poin ke level 6% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG), 18-19 Oktober 2023.

Padahal, dalam konferensi pers RDG sebelumnya, seperti pada Agustus lalu, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo tegas mengatakan bahwa menaikkan suku bunga acuan BI bukan merupakan “jamu” untuk memitigasi rambatan risiko global akibat kenaikan suku bunga di negara-negara maju terutama Fed Fund Rate (FRR) di Amerika Serikat.

Bahkan dalam konferensi pers RDG September lalu, Perry mengatakan bila melihat kondisi inflasi di dalam negeri yang semakin rendah, Bank Indonesia sebenarnya memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga acuannya.

Perry tak menampik apa yang disampaikannya pada beberapa RDG sebelumnya. Menurutnya, apa yang dia sampaikan sebelumnya berdasarkan informasi yang tersedia saat itu.

Keputusan Bank Indonesia yang menaikkan suku bunga acuannya dalam RDG bulan Oktober ini, menurut Perry dilakukan karena mempertimbankan kondisi terkini terutama yang terjadi pada tiga hingga dua minggu terakhir pasca RDG Oktober lalu.

“Dinamika global itu sangat cepat dan very unpredictable. RDG bulan lalu memang kita sampaikan [berdasarkan]  apa-apa yang kita lihat dengan informasi terbaru pada waktu itu. Tetapi dua minggu kemudian, terjadi perubahan yang sangat cepat. Dan ini juga dikonfirmasi dengan pembahasan dalam sidang G20 dan IMF baru-baru ini di Maroko – yang ibu Menteri Keuangan [Sri Mulyani] dan saya hadir,” ujar Perry menjawab pertanyaan wartawan tentang alasan Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan ke level 6% pada bulan ini.

Baca Juga :   Cadangan Devisa Naik per Akhir Juni 2022, Inilah Faktor yang Pemicunya

Perry memaparkan ada lima isu global yang berubah begitu cepat dalam beberapa waktu terakhir. Pertama, prediksi pertumbuhan ekonomi global yang melambat dengan divergensi pertumbuhan antarnegara yang melebar. Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada tahun ini sebesar 2,9% dan tahun depan turun menjadi 2,8%.

Perry mengatakan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat pada tahun ini masih kuat, tetapi melambat pada tahun depan.  Sementara pertumbuhan ekonomi China, pada tahun ini diperkirakan melambat dan berlanjut ke tahun depan.

Perlambatan pertumbuhan ekonomi di dua negara dengan ekonomi terbesar dunia ini – Amerika Serikat dan China – menyebabkan pertumbuhan ekonomi dunia pada tahun 2024 dan 2025 akan melambat.

“Tahun depan divergensi sumber pertumbuhan antarnegara masih lebar, tetapi baru menyempit 2025. Baru kemudian, tahun 2026 itu kemungkinakan akan mulai stabilizing. Jadi, tahun 2024 itu masih diliputi uncertainty mengenai pertumbuhan ekonomi  gloabal  yang akan cenderung melambat. Karena itu, seluruh dunia memang harus mendorong permintaan domestik supaya pertumbuhan ekonominya masih tinggi,” jelas Perry.

Baca Juga :   Bos BCA Perkirakan Federal Reserve Belum akan Turunkan Suku Bunga Acuan dalam Waktu Dekat

Isu kedua adalah ketegangan gepolitik yang kembali meningkat akhir-akhir ini menyebabkan harga minyak terkerek naik, sementara di sisi lain harga pangan tetap tinggi.

Kenaikan harga minyak dan masih tingginya harga pangan, menurut Perry, “akan memperlambat penurunan inflasi global.”

Ketiga, suku bunga di negara maju termasuk Fed Fund Rate  yang “akan higher for longer.”

Perry mengatakan Bank Indonesia memperkirakan Desember nanti Federal Reserve (Fed) akan menaikkan suku bunga Fed Fund Rate, dengan probablitasi 40%. Sementara di sisi lain, ketidakpastian ekonomi global pun masih tinggi.

Bank Indonesia memperkirakan Fed Fund Rate ini akan tetap tinggi sepanjang paruh pertama tahun 2024 dan baru akan mulai turun pada paruh kedua.

Keempat, setelah sebelumnya imbal hasil obligasi jangka pendek naik karena kenaikan Fed Fund Rate, akhir-akhir pun imbal hasil suku bunga obligasi jangka panjang juga naik, akibat kenaikan term premia. Term premia adalah kelebihan imbal hasil yang dibutuhkan investor untuk berkomitmen memegang obligasi jangka panjang.

Menurut Perry, kenaikan term premia ini terjadi karena pasar baru mem-price in tingginya utang pemerintah berbagai negara terutama untuk kebutuhan pembiayaan fiskal selama pandemi Covid-19.

Baca Juga :   Selamat Kepada Bank Indonesia, Sudah Tuntas Pikul Beban APBN 2020

“Selama Covid itu kan pemerintah-pemerintah di berbagai negara  khususnya negara maju membutuhkan pembiayaan fiskal yang tinggi. [Sehingga] Utang pemerintah kan tinggi. Ini belum di-price in oleh market. Sekarang market sudah mulai price in, disebut term premia,”ujar Perry.

Kelima, implikasi dari kenaikan tingkat imbal hasil obligasi jangka panjang di negara-negara maju menyebakan terjadinya capital outflow dari pasar keuangan negara berkembang termasuk Indonesia ke negara-negara maju.

Padahal, kata Perry, sebelumnya aliran modal dari negara-negara maju sudah mulai kembali masuk ke pasar keuangan negara berkembang termasuk Indonesia. Tetapi, kemudian karena adanya kenaikan imbal hasil obligasi jangka panjang di negara maju, aliran modal ini kembali masuk ke pasar negara maju. Hal ini yang kemudian membuat Dollar Amerika Serikat kembali perkasa.

Kelima faktor ini, jelas Perry, merupakan dinamika global yang terjadi begitu cepat yang terjadi pasca RDG BI bulan September lalu, terutama terjadi sekitar tiga hingga dua minggu terakhir.

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics