Seberapa Rentan Ketahanan Energi Indonesia?
Kondisi ketahanan energi Indonesia dinilai sangat rentan, mulai dari sektor hulu (upstream) hingga di sisi hilir (downstream). Seberapa parah kerentannya dan bagaimana mengatasinya?
Staf Ahli Direktur Logistic Supply Chain & Infrastructur Pertamina, Rifky Effendi Hardijanto mengatakan di sisi hilir (downstream), level stok Bahan Bakar Minyak (BBM) Pertamina yang dijual ke masyarakat saat ini hanya 12 hari.
Level stok atau yang sering disebut coverage day (CD) ini trennya menurun terus. Menurut Rifky sebelum krisis ekonomi tahun 1998, stok BBM di Pertamina cukup untuk memenuhi kebutuhan selama 35 hari. Namun, atas saran International Monetary Fund (IMF), setelah krisis ekonomi itu level maksium persediaan BBM diturunkan menjadi 22 hari untuk mengurangi biaya inventori.
“Akhirnya dengan infrastruktur yang ada, pertumbuhan demand yang cukup tinggi stok kita turun ke 17 hari. Saya kembali ke Pertamina (awal 2019) stok kita hanya 12 hari,” ujar pria yang selama 2016 hingga awal 2019 bergabung di Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) ini, dalam diskusi ‘Ekonomi Era Kabinet Indonesia Maju’ yang diadakan Indonews di Jakarta, Rabu (27/11).
Rifky mengatakan idealnya menurut International Energy Agency (IEA), stok BBM sebuah negara adalah bisa mencukupi kebutuhan selama 90 hari. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang bahkan memiliki stok BBM lebih dari 90 hari. “Sekarang Thailand dan Vietnam menuju ke sana,” ujarnya.
Untuk meningkatkan level stok BBM ini upaya yang dilakukan adalah dengan meningkatkan kapaitas kilang di dalam negeri agar tidak impor BBM. Persoalannya, kapasitas kilang di Indoneia hanya 1,1 juta barel per hari. Sementara kebutuhannya BBM kita lebih tinggi yaitu sekitar 1,6 juta barel per hari.
“Satu per satu presiden sebetulnya sudah mengambil kebijakan. Presiden tahun 2015 sudah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No 176 yang intinya adalah mendorong pembangunan kilang di Indonesia,” ujarnya.
Pertamina pun sudah memiliki program Refinery Development Master Plan (RDMP) untuk meningkatkan (upgrade) kapasitas kilang yang ada dari 1,1 juta barel per hari menjadi 2 juta barel per hari. “Meskipun sudah ada Perpres, ternyata progress dari percepetaan ekseksui ini yang lamban,” ujarnya.
Saat ini, menurutnya progress pengembangan kilang Balikpapan baru mencapai 9%. Sedangkan, pengembangan kilang Cilacap yang bekerja sama dengan perusahaan migas Arab Saudi, Aramco hingga kini belum jadi-jadi.
Padahal, bila program RDMP Pertamina ini berhasil, maka tahun 2023 kapasitas kilang di Indonesia meningkat menjadi 1,23 juta barel per hari. Itu pun belum bisa memenuhi kebutuhan di dalam negeri yang saat ini saja sudah mencapai sekitar 1,6 juta barel per hari. Tahun 2050 diperkirakan kebutuhan BBM Indonesia mencapai 4 juta barel.
“Di rencana umum energi nasional di Perpres No 2 tahun 2017 ditargetkan sebetulnya tahun 2024 itu kilang kita sudah 2 juta barel kapasitasnya,” ujarnya.
Selain meningkatkan kapasitas kilang yang ada, menurut Rifky opsi jangka pendek yang bisa dilakukan adalah dengan mengakuisisi kilang yang sudah beroperasi di luar negeri. Baru-baru ini, menurutnya kilang Shell di Malaysia berkapasitas 150.000 barel per hari diakuisisi oleh investor asal China. “Itu kira-kira segede kilang Balikpapan. Ada investor dari China yang membayar US$ 66,3 juta dapat share 50%. Itu juga sebuah solusi yang bisa dengan cepat kita bisa lakukan,” ujarnya.
Kondisi di hulu (upstream) tidak kalah mengkhawatirkan. Indonesia pada dekade 1970an dan 1980an dikenal sebagai negara penghasil minyak. Sebagian besar APBN bersumber dari minyak. Saat itu produksi minyak Indonesia mencapai sekitar 1,7 juta barel. Sementara kebutuhan di dalam negeri hanya 300.000 barel. Indonesia pun menjadi negara eksportir minyak. Tetapi sejak 2004 Indonesia sudah menjadi negara importir minyak.
“Sekarang ini kebutuhanya 1,6 juta barel per hari, produksi cuma 750.000 barel sehari. Separuh harus kita impor, devisa kita hilang,” ujarnya.
Untuk meningkatkan produksi di hulu, menurut Rifky, Indonesia harus meningkatkan investasi eksplorasi untuk menemukan cadangan minyak yang baru. Menurutnya, idealnya investasi eksplorasi ini minimal US$ 8 miliar per tahun. Tetapi di Indonesia, hanya US$ 5 miliar.
Kekurang US$ 3 miliar, menurutnya membutuhkan investasi asing. “Kita butuh investor asing. Karena untuk bermain di eksplorasi ini risikonya tinggi sekali,” ujarnya.
Agar investor mau menanamkan modalnya di Indonesia, imbal hasil (return) investasinya harus menarik. Menurutnya, dengan skema bagi hasil gross split saat ini, sulit mengharapkan investor asing masuk ke sektor hulu migas Indonesia. “Karena dengan gross split maksimum yang bisa didapat oleh investor hanya sekitar 57% gross,” ujarnya.