Startup Jangjo Hadir di Jakarta Kelola Sampah dengan Cara Inovatif dan Berdampak Positif pada Lingkungan

0
18
Reporter: Rommy Yudhistira

Perusahaan rintisan (startup) yang beroperasi di Jakarta Jangjo memiliki solusi inovatif untuk mengelola sampah menjadi suatu barang yang bernilai, dan bermanfaat. Keterbatasan lahan tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah menjadi landasan bagi Jangjo untuk menghadirkan pengelolaan sampah terintegrasi JOWI Integrated System.

Co-Founder dan CEO Jangjo Joe Hansen menjelaskan, pengelolaan sampah dan adanya kekosongan dalam mengelola sampah, khususnya di ibu kota, menjadi pertimbangan hadirnya Jangjo sebagai perusahaan yang menawarkan solusi dan berdampak positif terhadap lingkungan.

Dalam prosesnya, kata Joe, Jangjo mengelola sampah dari pusat perbelanjaan seperti Plaza Indonesia, FX Sudirman, Blok M Plaza, Gandaria City, SCBD Park, dan lainnya. Hampir rata-rata mitra Jangjo berasal dari retail atau pusat perbelanjaan. Skema kerja sama yang dibangun dalam bentuk business to business.

“Jadi bentuknya itu, mal membayar kami untuk jasa. Membayar untuk jasa angkut dan olah (sampah),” kata Joe saat ditemui The Iconomics di Jakarta, Jumat (4/7).

Dari sampah yang diangkut, kata Joe, Jangjo mengolahnya dengan JOWI untuk menjadi produk bernilai, seperti refuse derived fuel (RDF), dan solid recovered fuel (SRF), dan sumber energi lainnya. Dengan kapasitas mesin yang sanggup mengolah sampah hingga 50 ton, rata-rata per hari sampah yang diolah Jangjo sebesar 40-45 ton.

Baca Juga :   Pansus DPR Sidak Kantor Siskohat Jakarta, Aplikasi yang Kelola Data dan Administrasi Penyelenggaraan Haji

Namun, kata Joe, dari kapasitas sampah itu sekitar 15% merupakan sampah yang tergolong memiliki nilai, seperti botol plastik, beling, dan kardus. Kemudian, antara 15%-20% merupakan sampah makanan, dalam hal ini Jangjo mengubahnya menjadi belatung hidup yang dapat dijual kembali sebagai pakan ternak.

“Sekitar 50% itu jadi RDF, itu paling banyak. Kenapa JOWI menjadi begitu penting, karena mengolah paling besar untuk jadi bahan baku. Jadi sampah yang tidak berharga itu, komposisinya selalu banyak. Rata-rata 10% itu residu, yang masih belum bisa kita olah,” ujar Joe.

Untuk informasi, RDF merupakan bahan bakar alternatif yang dihasilkan dari pengolahan sampah. Sampah-sampah yang tidak bisa didaur ulang, diproses untuk kemudian menjadi bahan bakar yang digunakan di berbagai industri.

Dalam prosesnya, kata Joe, untuk mengolah dari sampah hingga menjadi RDF dibutuhkan beberapa tahapan seperti pemilahan, penghancuran, dan pengeringan sampah. RDF, Joe menambahkan, memiliki nilai harga yang sama seperti batu bara dengan level kalori 3.000 kkal/kg atau kalori rendah. Kurang lebih RDF bernilai sekitar Rp 900-1.000 per kilo.

Baca Juga :   Dari 5 Startup Ini, 3 Terpilih Dalam Grab Venture Velocity Angkatan ke-3

Peran Kolaborasi bagi Jangjo
Untuk mewujudkan Indonesia dari tata kelola sampah yang baik, kata Joe, Jangjo menilai kolaborasi menjadi kunci utama untuk menuju ke arah tersebut. Sebab, tanpa kolaborasi, beberapa tantangan yang ada dapat menjadi batu sandungan untuk mewujudkan Indonesia dengan tata kelola sampah yang baik.

Karena itu, kata Joe, Jangjo membuka kesempatan bagi para pihak yang ingin bersama-sama merealisasikan pengelolaan sampah yang terintegrasi, dan berkelanjutan di Jakarta, dan daerah lainnya.

“Dari pemerintah juga harus mendukung. Mendukung secara legal. Kami terus terang cukup didukung (pemerintah). Karena terus terang kami ini punya izin pengelolaan sampah. Jadi di DKI Jakarta ini cuma 2 (yang memiliki izin), dan kami salah satunya yang punya izin pengelolaan sampah tersebut,” kata Joe.

Leave a reply

Iconomics