Fiskal akan Memainkan Peran Penting Pada 2020

0
501
Reporter: Taimur Baig (Chief Economist DBS Group Research) dan Masyita Crystallin (Economist)

Pasar aset bergerak di seputar pelambatan ekonomi global dan sejumlah besar risiko geopolitik dalam dua bulan terakhir. Beberapa hari terakhir ini mencerminkan sikap risk-on -selera investor terhadap risiko, yang meningkat- dengan harapan terjadi kesepakatan dagang antara China-Amerika Serikat serta proses Brexit, yang ciamik. Indeks Dolar Amerika Serikat (DXY) turun tipis, pasar ekuitas menguat dan Indeks Volatilitas (VIX) turun secara berarti dalam pekan ini.

Namun, kami berpendapat bahwa itu belum menandai awal perubahan besar. Kesepakatan dagang hanya bisa meredakan masalah China-AS sejenak karena pertentangan kedua negara adidaya itu sebenarnya semakin luas. Keputusan Amerika Serikat pada pekan ini untuk memasukkan perusahaan China ke dalam daftar hitam dan membatasi visa beberapa diplomat China dengan alasan hak asasi manusia dengan jelas menunjukkan bahwa banyak bidang di luar pembelian produk pertanian dan akses pasar telah terbuka untuk konfrontasi. Dalam pandangan kami, China dan Amerika Serikat akan terus menghadapi kesulitan dalam mencapai titik temu atas masalah Hongkong, Taiwan, Korea Utara, Uighur, Belt-and-Road, keamanan siber, dan dominansi teknologi, terlepas dari yang terjadi di bidang perdagangan dalam waktu dekat.

Baca Juga :   Huawei Mengklaim Kapasitas Produksi Sudah Pulih 90%

Demikian pula halnya dengan Brexit. Penguatan tajam pound sterling (GBP) menegaskan perasaan lega di antara pelaku pasar, yang terbebani dengan ketidakpastian berkepanjangan. Tapi, harus disadari bahwa Inggris tetap terbelah, solusi Irlandia (dengan Irlandia Utara menjadi zona ekonomi khusus) mungkin tidak dapat diterapkan, dan prospek ekonomi secara keseluruhan tetap suram.

Dari sudut pandang pembuat kebijakan dan bisnis Asia, euforia pasar sama sekali bukan alasan untuk berpuas diri. Kami sepanjang tahun ini menunjukkan bahwa sebagian besar pelambatan ekonomi global tidak berkaitan dengan perang dagang. Penurunan berkepanjangan dalam permintaan otomotif dan elektronik, krisis di beberapa pasar negara berkembang (Argentina dan Turki), dan yang paling kritis, pelambatan struktural di China, akan berlanjut dan membayang-bayangi prospek.

Oleh karena itu, melihat situasi sebelum melangkah lebih jauh pada titik ini menjadi pilihan masuk akal. Komoditas pertanian dan harga energi, yang tertekan, menekan inflasi di kawasan dalam beberapa tahun terakhir, memungkinkan bank sentral melonggarkan kebijakan moneter. Bahkan, analisis kami tentang perbedaan suku bunga kebijakan antara ekonomi Asia dan Amerika Serikat menunjukkan dengan jelas bahwa secara relatif, pelonggaran kebijakan moneter dimulai pada 2015. Baru setelah Bank Sentral AS menurunkan suku bunganya, muncul tanda titik terbawah siklus telah muncul.

Baca Juga :   Ingin Terbang Lagi, 737 MAX Harus Lewati Uji Kelayakan Terbang

 

image001.png

 

Jika permintaan global tetap stagnan, kami memperkirakan bank sentral  Asia akan menyamai langkah Bank Sentral AS dalam beberapa triwulan mendatang. Dalam pandangan kami, tidak ada bank sentral Asia yang akan membiarkan tingkat perbedaan mereka terhadap dolar AS melonjak.

 

image002.png

 

image003.png

 

Kekhawatiran fiskal bukan masalah utama di Asia, terutama karena suku bunga sudah sedemikian rendah. Prakarsa anggaran, yang mendukung pertumbuhan, sedang disiapkan oleh India, Indonesia, Korea Utara dan Thailand. Kami berpendapat, ini saat tepat untuk menunggu perkembangan sebelum melangkah lebih jauh.

Leave a reply

Iconomics