Anggota Komisi II Imbau Semua Pihak Cermati Kemenangan Kotak Kosong di Pilkada, Ini Alasannya

0
19
Reporter: Wisnu Yusep

Kemenangan kotak kosong pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 di Bangka dan Pangkal Pinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dinilai sebagai dinamika sosial politik yang perlu dicermati. Pasalnya, fenomena itu menunjukkan ada aspirasi atas kepemimpinan alternatif, yang seharusnya tidak hanya pada saat proses pemberian suara.

“Namun juga bisa mulai sejak awal di proses pencalonan. Akhirnya potensi negara dirugikan karena harus keluar biaya lagi untuk pemilihan ulang,” kata anggota Komisi II DPR, Ahmad Irawan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (2/12).

Karena itu, kata Irawan, pihaknya menilai perlu ada evaluasi secara holistik dan komprehensif, termasuk apakah mekanisme kotak kosong ini relevan dalam gelaran Pilkada 2024. “Saya sendiri berpendapat yang dipilih dan berhak dipilih di tempat pemungutan suara dan dalam surat suara adalah yang telah mengikuti proses pencalonan,” ujar Irawan.

Menurut Irawan, negara telah memberikan kesempatan yang setara dan kemudahan, baik melalui jalur perseorangan atau melalui jalur partai politik, sehingga tidak perlu lagi pertanyaan lanjutan untuk setuju atau tidak terhadap calon yang telah melalui proses demokratis. “Meski saat ini kita harus menghormati ketentuan konstitusional yang sedang berlaku mengenai dan keberadaan kotak kosong,” kata Irawan.

Baca Juga :   Astra Life Sosialisasikan Materi Literasi dan Inklusi Keuangan ke Pelajar SMKN 4 Padalarang

Negara pada dasarnya, kata Irawan, telah memudahkan seseorang untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah (gubernur/bupati/wali kota). “Jadi adanya fenomena kotak kosong, apalagi kotak kosong yang kemudian menang dalam pemilihan merupakan suatu anomali dan tidak masuk akal (absurd),” kata Irawan.

Fenomena kotak kosong, kata Irawan, merupakan suatu dinamika sosial politik yang harus dicermati. Bila memang rakyat menginginkan kepemimpinan alternatif, maka gerakan tersebut telah dimulai dan harus ada sejak proses pencalonan.

“Toh ada mekanisme perseorangan (independen) tadi jika tidak mampu dan tidak menginginkan calon yang diusung oleh partai politik. Jadi memang harus ada yang menggerakkan,” tambah Irawan lagi.

Masih kata Irawan, hak untuk memilih dan hak untuk dipilih merupakan hak konstiusional dan merupakan perwujudan dari kesetaraan serta partisipasi dalam hukum, pemerintahan. Soal hak untuk dipilih dalam pemilihan kepala daerah, UUD 1945 telah memberikan jalan konstitusional untuk dapat dicalonkan melalui jalur perseorangan (independen) atau melalui jalur partai politik.

Awal pelaksanaan Pilkada secara langsung, kata Irawan, basis pencalonan hanya melalui partai politik. Karena dinamika sosial, terdapat tafsir baru kaitannya dengan pemilihan secara demokratis yang tercantum dalam UUD 1945 dengan memberikan hak kepada perseorangan untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

Baca Juga :   Jasa Marga Akan Mulai Berlakukan Diskon Tarif Tol 20% Sejak Hari Ini untuk Lebaran

“Adanya calon perseorangan pada saat itu merupakan suatu realitas baru dan telah menimbulkan suatu kesadaran konstitusional tentang adanya kesempatan perorangan untuk dipilih secara langsung oleh rakyat dalam Pilkada,” kata Irawan.

Secara konstitusional, kata Irawan, disadari bahwa calon perseorangan pun harus dibebani kewajiban persyaratan jumlah minimal dukungan terhadap calon yang bersangkutan yang mau maju dalam Pilkada. Karena partai politik juga dibebani syarat minimum dukungan kursi di DPRD atau jumlah perolehan suara minimal tertentu untuk mengajukan pasangan calon.

Terhadap jumlah dukungan ini, kata Irawan, ketentuan konstitusional terbaru yang diputus Mahkamah Konstitusi (MK) apabila partai politik menggunakan jumlah perolehan suara minimal yang didapatkan dalam pemilu. Saat ini persentase dukungannya telah disamakan dengan dukungan perolehan suara calon perseorangan.

Di banyak daerah dan Pilkada pada 2024, kata Irawan, yang menggunakan bentuk dukungan partai politik dengan basis jumlah perolehan suara partai politik karena lebih mudah, bukan kursi di DPRD. “Kenapa perlu syarat dukungan? agar warga negara yang maju dalam pemilihan bersungguh-sungguh dalam mengikuti proses pemilihan kepala daerah. Hal tersebut sebagai upaya untuk menjaga nilai dan kepercayaan rakyat terhadap proses pemilihan kepala daerah dan demokrasi,” kata Irawan.

Baca Juga :   Polemik Kadin Dinilai Masalah Internal, Jokowi Terbuka untuk Bertemu Siapapun

Jika pun tidak, kata Irawan, kepercayaan rakyat terhadap sistem demokrasi akan turun. Ada kecenderungan dan potensial juga untuk dipermainkan secara tidak bertanggungjawab.

“Jadi, menurut saya, negara sebenarnya telah memberikan kemudahan untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah (gubernur/bupati/wali kota). Jadi adanya fenomena kotak kosong, apalagi kotak kosong yang kemudian menang dalam pemilihan merupakan suatu anomali dan tidak masuk akal (absurd),” ujar Irawan.

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics