Survei Kemenperin, 12 Subsektor Industri Terkontraksi, Apa Saja?

0
305
Reporter: Rommy Yudhistira

Hasil survei Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terhadap 23 subsektor industri menyebutkan 11 subsektor masih tumbuh dan berekspansi, sedangkan 12 subsektor mengalami kontraksi. Adapun 12 subsektor yang terkontraksi itu terdiri atas komputer dan barang sejenis; minuman, bahan kimia; pakaian jadi; barang dan karet; furnitur; pengolahan lainya; kulit dan barang kulit; barang galian; pencetakan; tekstil; serta kayu dan barang dari kayu.

“Ini yang sedang kontraksi, ini yang menjadi perhatian kami. Bagaimana kita memitigasi agar supaya kontraksi mereka tidak semakin dalam, dan bahkan kalau bisa kita angkat, kita perbaiki,” kata Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita di Kompleks Parlemen beberapa waktu lalu.

Agus mengatakan, pemerintah berupaya mengatasi persoalan tersebut dengan melakukan berbagai macam cara, yang berkaitan dengan finansial serta memberlakukan pelarangan dan pembatasan baik barang ekspor maupun impor. Dari sisi finansial, Kemenperin telah berkomunikasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian Perdagangan di mana surat edaran diterbitkan memberlakukan restrukturisasi finansial perusahaan-perusahaan tekstil yang terkontraksi.

Baca Juga :   Pengguna DANA Tembus 60 Juta Selama 3 Tahun Berkiprah

“Tapi nanti akan kita lihat apakah subsektor-subsektor lain yang kontraksi juga perlu mendapatkan penanganan yang sama berkaitan dengan restrukturisasi dari utang. Jalan yang kedua tentu ini yang kita lagi bahas pagi, siang, malam, dan nanti akan kita koordinasikan dengan yang memiliki kewenangan yaitu Kementerian Perdagangan. Kami hanya bisa mengusulkan,” ujar Agus.

Selanjutnya dari sisi pelarangan dan pembatasan, kata Agus, pihaknya melakukan berbagai upaya dengan melakukan tindakan pengamanan perdagangan, bea masuk anti-dumping, dan menerapkan kebijakan pintu masuk barang (port of entry) di wilayah timur Indonesia. Dengan demikian, barang-barang impor yang masuk ke Indonesia harganya lebih mahal karena ada biaya logistik yang harus dikeluarkan.

“Misalnya kita tetapkan untuk tekstil itu port of entry-nya di Papua atau di Maluku. Itu mereka akan mempunyai cost of logistic untuk dibawa ke Jawa. Itu salah satu cara untuk kita bisa membantu industri dalam negeri. Karena kalau kita lihat demand dalam negeri masih cukup sehat,” ujar Agus.

Baca Juga :   Rano Karno: Tidak Transparan, Kemenparekraf Perlu Jelaskan Dana PEN untuk Subsektor Film

Agus menambahkan, kondisi kontraksi 12 subsektor tersebut juga dihadapi produk-produk yang berasal dari Tiongkok. Barang-barang dari Tiongkok tidak terserap di Eropa dan Amerika Serikat lantaran terjadi pelemahan ekonomi di kedua wilayah tersebut.

“Pasti melihat pasar lain, saya tidak menuduh tapi kita harus hati-hati. Makanya pelarangan dan pembatasan ini menjadi suatu hal yang penting agar tidak terjadi praktik-praktik dumping yang dilakukan negara lain. Jadi, dalam kondisi global yang melemah, pasar domestik bisa sepenuhnya dipenuhi oleh industri dalam negeri,” katanya.

Leave a reply

Iconomics