Pelni Usulkan PMN Tambahan Rp 2,5 T untuk Tahun Anggaran 2025
PT Pelayaran Nasional Indonesia (Persero) atau Pelni mengusulkan penyertaan modal negara (PMN) tambahan tahun anggaran 2025 sebesar Rp 2,5 triliun. Rencananya PMN tersebut akan digunakan untuk pengadaan 2 armada kapal penumpang baru.
Direktur Utama Pelni Tri Andayani menjelaskan, latar belakang usulan tersebut karena pertimbangan beberapa aspek di antaranya umur armada kapal yang telah melewati 30 tahun. “Umur armada kapal di atas 30 tahun sebanyak 12 kapal atau equivalent 46%. Yang tentunya akan memberikan dampak risiko pada aspek keselamatan dan inefisiensi yang semakin meningkat pada aspek operasional dan teknis,” kata Andayani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (8/7).
Andayani mengatakan, Pelni memiliki tugas untuk menjamin aksesibilitas dan konektivitas masyarakat antar-pulau di seluruh Indonesia. Karena itu, pengangkutan penumpang melalui moda transportasi laut menjadi hal yang penting, dan harus dilaksanakan.
Atas dasar tersebut, kata Andayani, ketidakmampuan Pelni dalam hal pembiayaan investasi penggantian alat produksi secara mandiri perlu didukung kehadiran pemerintah dalam permodalan. “Pemerintah berkewajiban hadir dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat akan moda transportasi laut dengan harga yang terjangkau,” ujar Andayani.
Dari sisi harga kapal, kata Andayani, harga 1 unit kapal penumpang diasumsikan sebesar Rp 1,5 triliun. Nantinya, kapal itu akan digunakan untuk melayani rute penugasan public service obligation (PSO) pemerintah.
“Adapun kapal kami mengangkut penumpang dan tidak hanya mengangkat penumpang tetapi juga kargo/kontainer dengan kapasitas 1.000 penumpang dan 75 kontainer,” kata Andayani.
Di sisi lain, kata Andayani, skema PMN yang diajukan Pelni merupakan upaya terbaik untuk menjaga keseimbangan kinerja perusahaan. Ekuitas perusahaan yang belum mampu melakukan investasi menjadi salah satu pertimbangan pengajuan PMN tersebut.
“Skema penugasan yang diberikan pemerintah sangat membatasi Pelni dalam memperoleh pendapatan perusahaan. Dan risk appetite kreditur di industri perkapalan yang dinilai tinggi atau slow yielding, sehingga pembiayaan penggantian alat produksi kapal penumpang sulit diperoleh dari jasa perbankan,” katanya.