
Kasus Jiwasraya: Benny Tjokro Merasa Korban Arogansi Oknum Kejagung

Sidang kasus dugaan korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi DKI Jakarta/Kumparan
Dalam sidang eksepsi para terdakwa kasus dugaan korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) pada Rabu (10/6) lalu menarik untuk mendengarkan keberatan Benny Tjokrosaputro, pemilik sekaligus CEO PT Hanson International Tbk. Keberatan Benny Tjokro kali ini masih tetap konsisten dengan protes yang disampaikannya ketika kali pertama menjadi pesakitan dalam kasus ini.
Dalam eksepsi pribadinya, Benny Tjokro mengungkapkan berbagai kekeliruan Kejaksaan Agung dalam menangani perkara ini terutama yang berkaitan dengan dirinya. Semisal, kesalahan penyidik dalam menyita aset dan memblokir rekening milik masyarakat, termasuk kesalahan ketika menyita aset dan memblokir rekening bank dan perusahannya.
Benny Tjokro mencontohkan kekeliruan penyidik itu juga menerpa PT Asuransi Jiwa Adisarana WanaArtha atau dikenal dengan WanaArtha Life. Pada persidangan perdana kasus ini, kata Benny Tjokro, nasabah WanaArtha protes kepada penyidik karena menyita dan memblokir bank para nasabah.
“Itu membuktikan pihak Kejaksaan Agung kurang hati-hati dan tidak teliti dalam melakukan penyitaan dan pemblokiran rekening-rekening bank dari pihak ketiga,” tulis Benny Tjokro dalam dokumen eksepsi pribadinya yang diterima wartawan The Iconomics pada Jumat (12/6).
Situasi itu, kata Benny Tjokro, juga dialaminya. Aset-aset properti perusahaannya dan rekening pribadinya ikut menjadi objek kesalahan penyitaan dan pemblokiran oleh Kejaksaan Agung. Apa yang dialami nasabah WanaArtha, Benny Tjokro juga mengalaminya. Bahkan karena kesalahan itu, WanaArtha Life mengajukan gugatan praperadilan terhadap Kejaksaan Agung.
“Hal ini semakin membuktikan bahwa Kejaksaaan tidak hati-hati dalam memblokir aset-aset dan rekening-rekening bank pihak ketiga, termasuk yang saya alami dalam perkara ini,” tambah Benny Tjokro.
Lebih jauh Benny Tjokro bercerita, dakwaan yang dituduhkan jaksa penuntut umum kepadanya terjadi sejak 2008 hingga 2018. Namun, penyitaan aset dan pemblokiran rekening bank dan perusahaannya oleh penyidik bahkan jauh sebelum 2008 yakni 2007, 2006, 2005 dan selanjutnya. Bahkan ada aset tanah yang diperoleh Benny Tjokro pada 1990-an ikut menjadi objek penyitaan oleh penyidik Kejaksaan Agung.
“Di sini saya merasa menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia dari arogansi oknum-oknum Kejaksaan, Yang Mulia,” kata Benny Tjokro.
Sejarah Hanson
Soal pernyataan Benny Tjokro ini sesuai dengan keterangannya yang tertuang dalam salinan berita acara pemeriksaan (BAP) yang dimiliki The Iconomics. Sejarah Hanson International mulanya bernama PT Mayertex Indonesia yang didirikan pada 1971. Kemudian diumumkan dalam Lembaran Berita Negara pada 1975.
Dalam perkembangannya, perusahaan tersebut melakukan penawaran saham perdana (IPO) di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 1990. Berjarak 7 tahun, perusahaan itu pun berganti nama menjadi PT Hanson Industri Utama, Tbk. Sejak almarhum ayah Benny Tjokro membeli perusahaan itu, namanya diubah lagi menjadi PT Hanson International yang bergerak di bidang pemintalan.
Sejak awal, PT Hanson International dikelola oleh Dicky Tjokrosaputro, adik Benny Tjokro. Dan Benny Tjokro mulai ikut terlibat mengelola Hanson setelah krisis keuangan 2008 dan membawa perusahaan bergerak ke bidang properti. Setelah itu, menerbitkan right issue (penerbitan saham baru) pada 2014.
Maka, keberatan Benny Tjokro tentang penyitaan aset dan pemblokiran rekening bank perusahaannya yang dilakukan penyidik Kejaksaan dengan tahun mundur tentu masuk akal. Sebab, perkara Jiwasraya yang melibatkan Benny Tjokro hanya dalam periode 2008-2018. Lalu, mengapa penyidik menyita aset dan rekening perusahaan Benny Tjokro yang sudah ada sejak 1990-an?
Selain Benny Tjokro, terdakwa lainnya dalam kasus ini adalah Joko Tirto, Heru Hidayat, Syahmirwan (eks Kepala Divisi Keuangan dan Investasi Jiwasraya), Hendrisman Rahim (mantan Dirut Jiwasraya) serta Harry Prasetyo (mantan Direktur Keuangan Jiwasraya).
BPK menelusuri dan mendalami kebijakan investasi Jiwasraya sejak 2008 hingga 2018. Setelah menyelesaikan pendalaman itu, maka disebut nilai kerugian negara akibat salah kelola dana investasi nasabah Jiwasraya mencapai Rp 16,81 triliun.