OJK Cabut Izin Usaha BPR di Bali, yang ke-8 pada Tahun Ini
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencabut izin usaha PT Bank Perkreditan Rakyat Bali Artha Anugrah melalui Keputusan Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Nomor KEP-34/D.03/2024 tanggal 4 April 2024.
Bank yang beralamat di Jalan Diponegoro No. 171, Kota Denpasar, Provinsi Bali ini menjadi BPR ke-8 yang dicabut izin usahanya pada 2024 ini.
“Pencabutan izin usaha PT BPR Bali Artha Anugrah merupakan bagian tindakan pengawasan yang dilakukan OJK untuk terus menjaga dan memperkuat industri perbankan serta melindungi konsumen,” tulis OJK dalam keterangan resmi, 4 April.
Pencabutan izin usaha ini dilakukan setelah pada 19 September 2023, OJK telah menetapkan PT BPR Bali Artha Anugrah sebagai Bank Dalam Penyehatan dengan pertimbangan Tingkat Kesehatan memiliki predikat Tidak Sehat.
Kemudian pada19 Maret 2024, OJK menetapkan PT BPR Bali Artha Anugrah sebagai Bank Dalam Resolusi, setelah OJK memberikan waktu sesuai ketentuan kepada Direksi, Dewan Komisaris dan Pemegang Saham BPR untuk melakukan upaya penyehatan termasuk mengatasi permasalahan Permodalan dan Likuiditas.
“Namun demikian, Direksi, Dewan Komisaris dan Pemegang Saham BPR tidak dapat melakukan penyehatan BPR,” jelas OJK.
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) kemudian memutuskan tidak melakukan penyelamatan terhadap PT BPR Bali Artha Anugrah dan meminta kepada OJK untuk mencabut izin usaha BPR, sebagaimana tertulis dalam Salinan Keputusan Anggota Dewan Komisioner Bidang Program Penjaminan Simpanan dan Resolusi Bank Nomor 58/ADK3/2024 tanggal 2 April 2024.
Menindaklanjuti permintaan LPS tersebut, OJK melakukan pencabutan izin usaha PT BPR Bali Artha Anugrah.
Dengan pencabutan izin usaha ini, LPS akan menjalankan fungsi penjaminan dan melakukan proses likuidasi sesuai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.
“OJK mengimbau kepada nasabah BPR agar tetap tenang karena dana masyarakat di Perbankan termasuk BPR dijamin LPS sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” tulis OJK.
Sebelumnya, Dian Ediana Rae, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK mengatakan pencabutan izin usaha beberapa BPR selama ini dilakukan “karena persoalan-persoalan mendasar terkait dengan situasi keuangannya,” maupun karena terjadi fraud.
“Harapkan kita, sebelum kita mengeluarkan roadmap secara komprehensif, kita ingin sisa-sisa BPR yang masih bermasalah secara mendasar ini , kemudian kita ingin bersihkan dulu,” ujar Dian.
Bersih-bersih BPR ini penting dilakukan, karena perannya dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) sudah semakin diperkuat.
BPR antara lain bisa go public dengan menjadi perusahaan tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI). BPR juga bisa menyelenggarakan sistem pembayaran seperti bank umum.
“Jadi, sebetulnya more less BPR itu bisa semakin mirip dengan bank umum. Oleh karena itu, standarnya kita juga akan ubah untuk terus menerus diperbaiki dalam semua hal,” ujar Dian.
Dian berharap, ke depan tidak ada lagi BPR yang rapuh, tetapi semakin kuat dari sisi keuangan, tata kelola dan sumber daya manusia.
Secara organisasi, salah satu upaya penguatan dilakukan melalui konsolidasi melalui merger. OJK menargetkan dari 1.600 BPR yang ada saat ini, akan tersisa menjadi 1000an BPR.
Salah satu konsolidasi yang dilakukan melalui Single Presence Policy yaitu mewajibkan BPR-BPR yang dimiliki oleh satu orang untuk digabungkan menjadi satu BPR.
“Jadi, kebijakanya tidak boleh lagi satu orang memiliki misalnya 5 BPR, 10 BPR, 15 BPR. Semuanya harus menajdi satu, tetapi kemudian kita konsolidasikan yang lainnya menjadi kantor cabang,” ujar Dian.
Melalaui kebijakan ini, jumlah BPR memang akan berkurang. Tetapi, tanpa mengganggu akses keuanga masyarakat.