Ekspektasi Pasca Pemangkasan Suku Bunga Acuan Tak Terduga

0
62

Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk memangkas suku bunga acuan 7-day reverse repo rate sebesar 25 basis poin ke 5,5% pada 22 Agustus. Dengan demikian, secara keseluruhan BI telah melakukan pelonggaran sebesar 50 basis poin tahun ini. Perbedaan tingkat suku bunga Indonesia dengan suku bunga Amerika Serikat masih kompetitif pada level ini dan rupiah relatif stabil di kisaran Rp14.200 pada minggu lalu. Bahkan, secara YTD, rupiah telah mengungguli hampir semua mata uang di kawasan dengan keuntungan dari perdagangan di pasar spot di samping Thailand dan Jepang. 

Pertumbuhan, yang melambat, sepertinya menjadi faktor utama pemangkasan suku bunga sebagai langkah preemptiveBank Indonesia memperkirakan pertumbuhan turun dari perkiraan sebelumnya, yang sebesar 5,2% tahun ini, dengan defisit transaksi berjalan relatif tetap besar di kisaran 2,5-3% dari PDB. Inflasi akan tetap terkendali dan BI berharap inflasi akan tetap berada di bawah kisaran tengah 3,5%. Gubernur BI Perry menekankan bahwa BI akan tetap menjaga sikap kebijakan akomodatifnya untuk mendukung pertumbuhan. BI juga terbuka untuk pelonggaran makroprudensial lebih jauh. Kami berpendapat bahwa Bank Indonesia dapat memangkas suku bunganya sebesar 25 basis poin pada triwulan keempat 2019 menjadi 5,25% tahun ini.

 

Sikap Fiskal Tetap Non-Ekspansif

Kebijakan fiskal terlihat lebih berfokus pada kebijakan di sisi suplai untuk meningkatkan potensi pertumbuhan jangka panjang dan memberikan dukungan netral untuk pertumbuhan jangka pendek. Infrastruktur tetap menjadi prioritas dengan sedikit perubahan sehingga lebih terfokus pada pengembangan infrastruktur antarpulau.

Baca Juga :   SMF Siap Lunasi Obligasi Berkelanjutan IV Tahap III Seri C 2018 di Februari 2023

Presiden Jokowi juga menekankan fokus baru dalam mengembangkan sumber daya manusia (SDM). Dalam hal anggaran, pengeluaran untuk bidang pendidikan ditetapkan sebesar 20% oleh undang-undang. Penekanan baru dalam bidang SDM ini kemungkinan akan mempengaruhi kualitas pengeluaran dan prioritas, bukan dari jumlah yang dialokasikan. Fokus pada SDM sangat penting mengingat kualitas pendidikan Indonesia masih terbilang rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga.

Ada ruang anggaran memadai untuk mendukung pertumbuhan jangka pendek. Kebijakan fiskal dapat memainkan peran penting untuk mengurangi dampak dari perlambatan saat transmisi kebijakan moneter terkendala oleh kondisi likuiditas, yang agak ketat.

Selain itu, meskipun utang luar negeri telah meningkat sejak tahun lalu, utang Indonesia masih relatif rendah, dengan total utang luar negeri terhadap PDB (publik dan swasta) tidak sampai 36,2% dari PDB pada tahun 2018.

Anggaran tahun 2020, dengan target defisit 1,76% (dibandingkan dengan 1,93% untuk tahun 2019) dan keseimbangan primer mencapai Rp21 triliun (dari Rp34,7 triliun tahun ini), terlihat cukup seimbang. 

 

Tingkat Bunga: Obligasi Pemerintah Didukung oleh Kebijakan Pelonggaran 

Pelonggaran lebih lanjut oleh Bank Indonesia (BI) dalam beberapa bulan ke depan akan mendukung obligasi pemerintah Indonesia. Saat defisit neraca berjalan terus lebar (melampaui 3% dalam dua triwulan berturut-turut), dapat dipahami jika BI enggan melonggarkan kebijakannya jika dibandingkan dengan bank sentral lain. BI hanya memotong suku bunga sebesar 50 basis poin sepanjang tahun ini. Sebaliknya, bank sentral menaikkan suku bunganya sebesar 175 basis poin secara kumulatif pada 2018. Pelonggaran lebih lanjut terhadap kebijakan moneter ketat dapat dilakukan, tetapi kami menduga bahwa ke depan, BI hanya akan merasa nyaman menyamai laju pemangkasan Bank Sentral AS. Risiko pendanaan eksternal masih menjadi isu di lingkungan bergejolak ini.

Baca Juga :   Ada Kejahatan Menggunakan QRIS di Masjid, Apa Respons Bank Indonesia?

Secara umum, aliran dana asing akan mendukung saat imbal hasil rendah (kepemilikan asing di obligasi pemerintah Indonesia meningkat lebih dari Rp1.000 triliun sepanjang tahun ini). Obligasi pemerintah Indonesia bertenor 10 tahun menawarkan premi hampir 600 basis poin lebih besar dari surat utang pemerintah AS (US Treasuries) dengan tenor sama. Kami berpendapat bahwa selisih imbal hasil saat ini tinggi dengan hanya ada dua peristiwa (krisis keuangan global 2008/2009 dan kekhawatiran devaluasi Cina pada 2015) di mana selisih melebar jauh. Kami berpendapat bahwa fokus BI pada stabilitas rupiah dan upaya melunakkan gejolak harga obligasi harus memberikan kenyamanan bagi pemodal. Tenor jangka pendek (2 tahun, 3 tahun), yang secara jelas akan dikaitkan dengan kebijakan BI, yang lebih longgar, bisa dibilang merupakan taruhan lebih aman dalam lingkungan di mana selisih imbal hasil obligasi jangka pendek dengan obligasi jangka panjang kemungkinan melebar.

 

Rupiah Tangguh dan Stabil

Kami berharap rupiah Indonesia akan tetap stabil pada kisaran Rp13.900-14.500 tahun ini. Berbeda dengan tahun lalu, rupiah sangat tangguh dalam menghadapi anjloknya peso Argentina dan penyusutan yuan Cina sejak Mei.

Baca Juga :   Kolaborasi dengan Tekfin, Perbankan Bisa Percepat Fungsi Mobile Banking

Indonesia berhasil mempertahankan kredibilitas kebijakannya dengan baik dibandingkan dengan negara-negara berkembang lain. Pemilihan ulang Presiden Joko Widodo diikuti dengan peningkatan peringkat utang negara. Standard & Poor’s menaikkan peringkat Indonesia setingkat ke BBB. Sebelumnya, pada bulan April, Sri Mulyani dinobatkan sebagai Menteri Keuangan Terbaik se-Asia-Pasifik Asia. Dia diharapkan dapat melanjutkan perannya selama masa jabatan kedua Widodo. Defisit fiskal, pertama sejak 2012, kemungkinan telah menyusut menjadi di bawah 2% dari PDB pada tahun 2018.

Bank Indonesia berkomitmen menjaga stabilitas rupiah melalui kebijakan moneter dan kebijakan makroprudensial akomodatif. BI memilih 18 Juli sebagai tanggal untuk menurunkan suku bunganya, kurang dari dua minggu sebelum penurunan suku bunga sebagai langkah antisipasi oleh Bank Sentral AS pada 31 Juli. Penurunan hari ini, yang di luar dugaan, adalah keputusan tepat di tengah lanskap moneter global, yang lunak (dovish). Proyeksi BI untuk defisit transaksi berjalan sebesar 2,5-3% dari PDB untuk 2019-2020 masuk akal dan mungkin mengejutkan, mengingat dampak positifnya. Tekanan pada perdagangan eksternal telah diimbangi oleh penyusutan defisit perdagangan sebesar 40% dan cadangan devisa tertinggi dalam 16 bulan terakhir.

 

Masyita Crystallin (Economist), Eugene Leow (Rates Strategist) danPhilip Wee (FX Strategist DBS Group Research)

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics