Normalisasi Kebijakan Moneter di AS, Sri Mulyani: Indonesia Masih Tahan Banting
Perubahan arah kebijakan moneter di Amerika Serikat dipastikan akan berpengaruh ke pasar keuangan negara-negara berkembang (emerging market) termasuk Indonesia, terutama kepada nilai tukar dan imbal hasil surat utang negara.
Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan surplus neraca pembayaran dan mengecilnya komposisi kepemilkan asing pada surat utang negara membuat Indonesia akan relatif lebih memiliki daya tahan yang kuat (resillient).
Tren inflasi tinggi di berbagai negara, termasuk di Amerika Serikat, mendorong bank-bank sentral untuk melakukan penyesuaian kebijakan moneternya. Di Amerika Serikat, inflasi yang mencapai rekor 6,8% pada November lalu membuat The Federal Reserve (The Fed) memutuskan menormalisasi kebijakan moneternya dengan mengurangi pembelian ogligasi pemerintah dan akan menaikan suku bunga.
Sri Mulyani mengatakan normalisasi kebijakan di Amerika Serikat ini akan menyebabkan terjadi aliran modal keluar (capital outflow) dari pasar keuangan emerging market. Aliran modal keluar ini akan berimplikasi pada dua hal yaitu nilai tukar dan pasar surat berharga (bond).
Dari sisi nilai tukar, menurut Sri Mulyani, dampak capital outflow ke Indonesia relatif kecil, dimana Rupiah hanya mengalami depresiasi sekitar 1,4%.
“Negara-negara emerging lain mengalami depresiasi yang jauh lebih dahsyat dengan adanya capital flow. Biasanya ada kombinasi dengan kondisi ekonomi internal mereka yang tidak baik seperti Turki. Kita lihat Lira mengalami depresiasinya mencapai 70%. Kemudian, diikuti Argentina yang memang sedang mengalami krisis ekonomi atau kesulitan pembayaran hutang. Di sini depresiasi Peso juga sudah di atas 20%,” ujar Sri Mulyani saat konferensi pers APBN Kita, awal pekan ini.
Namun, Sri Mulyani mengingatkan Rupiah yang terlalu kuat dibandingkan mata uang negara emerging lainnya juga perlu diwaspadai. Karena hal itu berpotensi menyebabkan menurunnuya daya saing produk ekspor Indonesia.
Dari sisi imbal hasil obligasi, Sri Mulyani mengatakan tekanan ke Indonesia sebenarnya cukup berat. Capital flow ke Indonesia, mengalami penurunan dari US$53 miliar pada Januari 2021 lalu, berkurang menjadi US$15,6 miliar pada November 2021.
Namun, karena Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) sangat kuat, selain nilai tukar rupiah menjadi relatif terjaga, imbal hasil obligasi Indonesia pun relatif tidak berubah. Hal ini terjadi karena kepemilikan asing pada obligasi pemerintah Indonesia sudah semakin berkurang dari 38,5% pada tahun 2019 menjadi di bawah 19,75% pada tahun 2021.