Menko Airlangga di CPOPC Ungkap Diskriminasi Perdagangan Minyak Sawit
Industri minyak sawit global masih akan menghadapi sejumlah tantangan. Antara lain volatilitas pasar, fluktuasi harga crude palm oil (CPO), tuntutan keberlanjutan dari negara-negara konsumen atau importir, masuknya petani kecil dalam rantai pasokan global, risiko perubahan iklim, maupun isu-isu terkait lingkungan hidup, kesehatan, dan tenaga kerja. Hal ini yanh menjadi fokus pembahasan Dewan Negara-Negara Penghasil Minyak Sawit atau Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) pada 12th Ministerial Meeting CPOPC di Jakarta, Indonesia.
Dalam jangka panjang, tantangan-tantangan yang disebutkan di atas dapat mempengaruhi penghidupan para petani kecil dan produsen skala kecil, karena mereka adalah tulang punggung rantai pasokan minyak sawit. Dalam hal ini, Indonesia tetap berkomitmen untuk menjamin kesejahteraan lebih dari 12 juta orang yang memperoleh pekerjaan langsung dan tidak langsung dari industri minyak sawit ini.
“Pada pertemuan hari ini, Indonesia ingin mengapresiasi kemitraan dan kolaborasi jangka panjang di antara negara-negara produsen minyak sawit, dengan dukungan CPOPC, meskipun terdapat tantangan yang kompleks di sektor minyak sawit global,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, selaku Ketua Delegasi Indonesia pada Jumat (29/11/2024).
Dalam dua tahun terakhir, pasar minyak sawit telah mengalami perubahan harga yang tidak pernah terjadi sebelumnya, yakni mencapai rekor tertinggi pada 2022 saat Covid-19, dan belum kembali normal hingga 2023.
Di sisi lain, negara-negara produsen minyak sawit juga terus menghadapi diskriminasi perdagangan terhadap produk minyak sawit dan turunannya, di mana hal itu disamarkan sebagai kebijakan ramah lingkungan yang diberlakukan oleh negara-negara pengimpor, seperti EU Deforestation-free Regulation (EUDR), EU RefuelEU Aviation Rules, EU Due-Diligence Regulation, Global Biofuel Alliance (GBA), dan United Kingdom’s Forest Risk Commodities (FRC) Law.
“Untuk itu, kita harus menyusun strategi yang tepat untuk menciptakan harga minyak sawit yang menguntungkan dan stabil. Selain itu, kita harus menahan diri dalam menerapkan kebijakan perdagangan dengan cara yang tidak sejalan dengan ketentuan WTO yang relevan, untuk memastikan transparansi pasar dan prediktabilitas minyak sawit,” kata Menko Airlangga.
Indonesia juga tetap menganggap sektor kelapa sawit sebagai prioritas nasional, apalagi terdapat komitmen kuat dari Presiden RI Prabowo Subianto terhadap sektor vital ini sebagaimana tercermin dalam Asta Cita, yakni mencapai tujuan ketahanan pangan, swasembada pangan, swasembada energi, dan hilirisasi industri.
“Dalam (swasembada energi melalui) Program B40 yang dilakukan Indonesia bahwa Malaysia mengapresiasi hal ini, karena berkontribusi kepada dunia terutama dalam pengurangan emisi. Jadi dalam Program B35, kita menghemat sekitar 32 juta ton CO2, dan kalau untuk B40 itu lebih dari 40 juta ton CO2. Ini adalah kontribusi konkret Indonesia dan CPO kepada seluruh dunia untuk mengurangi emisi karbon,” kata Menko Airlangga.
Ia juga mendorong CPOPC tetap menjadi hub bagi negara-negara produsen minyak sawit serta menjadi penentu tren di pasar minyak nabati global untuk mendukung dan memfasilitasi kepentingan para anggotanya. CPOPC juga harus bisa memperluas kemitraan dan kerja sama multipihak melalui berbagai platform.
“Indonesia dan Malaysia juga sepakat untuk melanjutkan ad hoc dari joint task force tentang EUDR. EUDR telah diperpanjang (implementasinya) oleh Parlemen Uni Eropa dalam satu tahun ke depan. Selanjutnya, tadi juga telah diserahterimakan Keketuaan CPOPC dari Indonesia kepada Malaysia untuk periode satu tahun ke depan,” kata Menko Airlangga.