Ekspektasi Inflasi AS Kemungkinan Telah Berada Dititik Terendah

0
492
Reporter: Eugene Leow (Rates Strategist DBS) dan Radhika Rao (Economist DBS Group Research)

Di tengah pemberitaan hangat tentang perang dagang Cina-AS dan Iran, kenyataan bahwa ekonomi Amerika Serikat relatif baik kemungkinan luput dari perhatian. Yang jelas, AS tidak kebal terhadap perlambatan industri manufaktur global, tetapi pasar tenaga kerjanya terbukti tangguh meskipun tengah menghadapi perang dagang dengan Cina. Secara khusus, perlambatan pertumbuhan tenaga kerja (6mma dari 150.000 dibandingkan dengan 233.000 pada bulan Januari) harus dilihat sebagai tanda ketatnya pasar tenaga kerja. Dengan klaim pengangguran masih rendah dan pertumbuhan upah tinggi berdasarkan atas standar terbaru, perubahan harga tercermin dari angka inti Indeks Harga Konsumen (IHK, 2,4% YoY) sekalipun dampaknya terhadap IHK inti berhasil diredam (1,7% YoY).

unnamed.png

Source: Bloomberg

Dalam pandangan kami, ekspektasi tingkat inflasi dalam lima tahun mendatang (1,50%), telah menyimpang terlalu jauh dari inflasi inti. Perkembangan ini terakhir kali terlihat pada tahun 2015/2016, ketika kekhawatiran akan perlambatan ekonomi Cina sangat besar dan harga minyak tertekan. Ternyata, situasinya tidak terlalu negatif dan ada kecurigaan bahwa ekspektasi inflasi mungkin terlalu rendah. Sementara Bank Sentral AS menerapkan kebijakan longgar (relatif terhadap ekonomi), ekspektasi inflasi kemungkinan bergeser ke titik tengah kisaran perdagangan, yakni 1,5-2,0%.

Baca Juga :   Menko Airlangga: Jangan Ragu-ragu Gunakan BTT untuk Pengendalian Inflasi

India: Mengamati harga minyak

Pasar aset rupee kehilangan kepercayaan kemarin setelah risiko geopolitik muncul kembali akibat serangan terhadap kilang minyak Arab Saudi. India adalah satu dari sedikit negara di kawasan itu yang paling terpengaruh oleh kenaikan harga minyak akibat ketergantungan pada impor energi dan defisit perdagangan minyak cukup besar. Sejauh mana kenaikan harga minyak tergantung pada berapa lama kilang minyak Arab Saudi lumpuh akibat serangan tersebut. Masih menjadi tanda tanya apakah lonjakan harga pada hari Senin, 16 September 2019, akan bertahan atau tidak. Jika ya, hal itu dapat mempersulit prospek ekonomi makro ekonomi, karena sensitivitas keseimbangan eksternal terhadap harga minyak terbilang tinggi.

Imbal hasil obligasi dalam rupee bertenor 10 tahun (generik) melonjak menjadi 6,75%, tertinggi dalam dua bulan, kemarin, dan naik hingga 10 basis poin jika dibandingkan dengan minggu sebelumnya. Dorongan inflasi jinak membatasi imbal hasil obligasi bertenor 10 tahun pada pekan lalu, tetapi harga minyak tampaknya akan menjadi penentu harga dalam jangka pendek. Setelah mencapai titik terendah pada pertengahan Juli, kekhawatiran menyangkut fiskal dan penerbitan obligasi baru telah meningkatkan minat pada surat berharga bertenor 10 tahun, dengan kemungkinan pelonggaran moneter lebih baik tercermin di obligasi berjangka menengah dengan imbal hasil tinggi (belly) hingga tenor jangka pendek. Pasar aset rupee akan terus mengamati harga minyak dengan cermat. Batas terendah jangka pendek untuk obligasi bertenor 10 tahun naik ke angka 6,6%. Bank Sentral India (Reserve Bank of India, RBI) juga mengonversi obligasi senilai 200 miliar rupee, yang akan jatuh tempo pada tahun depan dan 2024, menjadi surat utang bertenor lebih panjang, yang akan jatuh tempo pada tahun 2029 & 2033. Imbal hasil surat berharga pemerintah AS juga naik tipis seiring dengan kenaikan INR OIS.

Source: Bloomberg, DBS

Kondisi likuiditas dalam surplus (lihat grafik) tepat saat aliran pajak pemerintah kemungkinan menyerap sebagian dari kelebihan ini.  Surplus ini membantu pasar utang (dengan tingkat suku bunga tinggi) mencerminkan pemotongan suku bunga oleh Bank Sentral India sebagai kebalikan suku bunga pinjaman bank. Untuk mempersempit perbedaan ini, Bank Sentral India memerintahkan agar pinjaman baru diperbandingkan dengan suku bunga berbasis pasar eksternal, termasuk suku bunga repo. Namun, beberapa kantong yang tertekan terus menghadapi masalah biaya pinjaman, terutama setelah perusahaan pembiayaan perumahan terlambat membayar pinjaman mereka kepada kreditor. Hal itu menunjukkan bahwa masalah yang ditimbulkan oleh lembaga bukan bank berlanjut. Terkait rupee, FX Strategist DBS berpendapat bahwa mata uang pasar berkembang Asia yang paling berisiko terhadap kenaikan harga minyak berasal dari negara dengan defisit perdagangan minyak terbesar, termasuk won, baht dan rupee, sementara ringgit akan menjadi yang terkuat.

Leave a reply

Iconomics