Beda Pendapat Komisi I DPR, Pemerintah dan Lembaga Penyiaran Swasta soal ASO

Tangkapan layar, Ketua Komisi I Meutya Hafid/Iconomics
Iconomics - Komisi I DPR meminta seluruh lembaga penyiaran swasta (LPS) mematuhi peraturan penghentian siaran televisi analog atau analog switch off (ASO). Apalagi dasar hukum ASO termuat dalam Undang-Undang (UU) Cipta Kerja.
Menurut Ketua Komisi I Meutya Hafid, pemberlakuan digitalisasi pada siaran televisi dinilai membawa keberagaman pemilik saluran televisi yang akan semakin bertambah. Juga tidak akan dikuasai segelintir pengusaha besar sebagaimana yang terjadi saat ini.
“Tidak ada alasan untuk menolak. Kekurangan dalam proses harus segera dibenahi sambil jalan tanpa menunda jadwal era digital penyiaran di Tanah Air. Kita sudah terlambat jauh, dari dunia. Bahkan negara tetangga seperti Malaysia sudah ada ASO beberapa tahun lalu,” kata Meutya dalam keterangannya, Jumat (4/11).
Kendati demikian, kata Meutya, pemerintah diminta memastikan proses pemindahan saluran televisi tersebut dapat berjalan dengan baik. Juga perlunya sosialisasi karena sebagian masyarakat belum memahami soal transisi siaran televisi tersebut.
“Harus tersedia di pasar. Dengan demikian, saya berharap seluruh LPS dapat menjalani ASO ini dengan taat,” ujar Meutya.
Sementara itu, rekan Meutya di Komisi I, Christina Aryani mengatakan, DPR akan mengagendakan rapat dengan para mitra membahas persoalan peralihan siaran televisi, mengingat masih terdapat LPS yang menyiarkan siaran analog. “Tentunya persoalan ini akan diangkat untuk diklarifikasi. Tentunya kami menyayangkan, semestinya sudah cukup tahapan sosialisasi untuk memastikan kepatuhan,” ujar Christina.
Secara terpisah, Executive Chairman MNC Group Hary Tanoesoedibjo mengatakan, pemberlakuan ASO yang hanya dilakukan di wilayah Jabodetabek tidak sesuai dengan perintah UU Cipta Kerja. Pasalnya, berdasarkan UU Cipta Kerja, ASO seharusnya diberlakukan secara nasional bukan hanya ASO Jabodetabek yang berlaku pada 2 November 2022.
“Saya merasa heran dengan ASO hanya wilayah Jabodetabek dengan alasan perintah UU,” kata Hary.
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), kata Hary, UU Cipta Kerja telah dibatalkan secara bersyarat sehingga segala sesuatu yang memiliki dampak luas agar ditangguhkan. Kemudian, standar ganda Kementerian Komunikasi (Kominfo) dalam penerapan hukum juga dinilai perlu disoroti.
Dalam penerapan wilayah Jabodetabek, misalnya, kata Hary, Kominfo mengikuti perintah UU Cipta Kerja. Sementara wilayah di luar Jabodetabek, Kominfo menerapkan putusan MK yang membatalkan UU Cipta Kerja.
“Arti dari Keputusan MK adalah segala sesuatu yang memiliki dampak luas agar ditangguhkan. Sebagaimana kita ketahui 60% penduduk Jabodetabek masih menggunakan TV analog,” kata Hary.