Selepas UU Cipta Kerja Disahkan, Partai Buruh Akan Gugat ke MK dan Mogok Nasional
Partai Buruh bersama elemen serikat buruh berencana mogok nasional sebagai respons pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang (UU). Rencana aksi mogok itu disebut akan melibatkan sekitar 5 juta buruh dari 100 ribu pabrik yang tersebar di seluruh Indonesia.
Presiden Partai Buruh Said Iqbal mengatakan, buruh di wilayah Jabotabek akan menggelar aksi di Istana Presiden dan gedung DPR. Sedangkan buruh yang berada di luar wilayah Jabodetabek fokus di kantor-kantor pemerintah dan di depan pabrik asal buruh bekerja.
“Karena anggota serikat buruh yang tergabung di Partai Buruh hampir 100 ribuan pabrik. Kita mempersiapkan 5 hari seperti aksi demonstrasi di Prancis. Mogok nasional ini akan dilaksanakan di antara bulan Juli-Agustus (2023), karena kami menghormati bulan Ramadhan dan Idulfitri,” kata Said dalam keterangan resminya secara virtual beberapa waktu lalu.
Sambil menunggu persiapan aksi mogok nasional, kata Said, pihaknya menggugat UU Cipta Kerja itu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Juga berkampanye melawan omnibus law UU Cipta Kerja melalui 2 strategi yaitu strategi kampanye nasional dan internasional.
Said mengatakan, pihaknya mencatat 9 poin sebagai dasar menolak pengesahan UU Cipta Kerja. Pertama, Partai Buruh menolak upah minimum yang diatur dalam UU itu. Kedua, mengenai outsourcing seumur hidup yang tidak mengatur jenis pekerjaan.
Ketiga, kata Said, mengenai kontrak kerja yang bisa dilakukan berulang-ulang. Meski ada pembatasan selama 5 tahun, pekerja/buruh berpotensi dikontrak terus-menerus, apabila perusahaan tidak memberlakukan kontrak berkesinambungan.
“Kontrak yang berulang-ulang, bisa 100 kali kontrak itu yang dimaksud kontrak seumur hidup,” ujar Said.
Keempat, lanjut Said, pembayaran pesangon terhadap pekerja/buruh yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dinilai rendah dan tidak berpihak pada pekerja/buruh. Kelima, PHK yang dipermudah. Keenam, mengenai pengaturan jam kerja. Ketujuh, pengaturan cuti, yang dinilai tidak memiliki kepastian bagi buruh perempuan yang mengambil cuti haid dan cuti melahirkan.
Kedelapan, kata Said, proses administrasi tenaga kerja asing yang dinilai dipermudah UU Cipta Kerja. “Kita menolak dalam Perppu yang sekarang menjadi UU, bekerja dulu baru diurus administrasinya sambil jalan,” ujar Said.
Kesembilan, ujar Said, Partai Buruh menolak penghilangan beberapa sanksi pidana dari UU Nomor 13 Tahun 2003.
Sebelumnya, DPR menyetujui Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU. Persetujuan itu berdasarkan laporan pimpinan Badan Legislasi (Baleg) bahwa 7 fraksi sepakat membawa Perppu itu ke pembahasan tingkat II.
Ketua DPR Puan Maharani menuturkan, dalam rapat kerja pengambilan keputusan tingkat I, 7 fraksi yang sepakat membawa Perppu tersebut ke tingkat II adalah PDI Perjuangan, Fraksi Gerindra, Fraksi Golkar, Fraksi Nasdem, Fraksi PKB, Fraksi PAN dan Fraksi PPP. Sementara 2 fraksi yang terdiri atas Demokrat dan PKS menolak penetapan Perppu tersebut.
“Kami menanyakan apakah RUU tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dapat disetujui menjadi UU?” tanya Puan.
“Setuju,” jawab anggota Dewan.