Refleksi dan Tantangan Perbankan Tahun 2022
Perbankan memiliki peran strategis dalam menggerakkan roda perekonomian nasional. Fungsi utama perbankan dalam perekonomian adalah menghimpun dana masyarakat dan menyalurkan dana tersebut untuk membiayai kegiatan produksi dan konsumsi sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan perannya yang strategis tersebut, perbankan nasional yang kuat (resilient), berdaya saing, dan kontributif menjadi prakondisi keberhasilannya dalam mendukung pertumbuhan perekonomian nasional.
Tak terasa waktu bergulir begitu cepat dan saat ini kita berada pada di penghujung tahun 2021 dan akan memasuki tahun 2022 dimana merupakan Era Kebangkitan Ekonomi Indonesia. Berbagai diskusi para ekonom dan pemerintah dengan tema Outlook Ekonomi tahun 2022 berekspektasi bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia berkisar di angka 4,7-5,5% dengan berdasar pada indikator-indikator yang ada.
Bercermin dengan kondisi kinerja kredit perbankan Bank Umum & Bank Perkreditan Rakyat (BPR) sebagai salah satu indikator pertumbuhan ekonomi pasca kerasnya badai pandemi Covid-2019 tercermin sebagai berikut:
Sumber: Badan Pusat Statistik 5 November 2021 & SPI September 2021 Otoritas Jasa Keuangan (data diolah)
Sebagaimana data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 5 November 2021 dan Statistik Perbankan Indonesia posisi September 2021 (data diolah), pertumbuhan secara triwulanan sejak tahun 2017 (sebelum pandemi) sampai dengan posisi Triwulan III tahun 2021 terdapat pola (pattern) yang sama antara pertumbuhan kredit perbankan (garis orange putus-putus) dengan Pertumbuhan Ekonomi (PDB) Indonesia (garis hitam). Pertumbuhan kredit akan mengalami penurunan seiring penurunan pertumbuhan ekonomi dengan ditunjukkan adanya penurunan permintaan, penurunan daya beli berujung pada penurunan belanja masyarakat dan penurunan kelayakan usaha debitur yang menyebabkan penurunan kualitas aset produktif. Kondisi akan berbalik jika kondisi ekonomi mengalami pertumbuhan.
Sumber: Badan Pusat Statistik 5 November 2021 & SPI September 2021 Otoritas Jasa Keuangan (diolah)
Pada 5 November 2021, BPS telah merilis bahwa pertumbuhan ekonomi pada Triwulan ke III-2021 secara year on year mengalami pertumbuhan sebesar 3,51% dan atau 1,55% secara q to q, setelah mengalami turbulensi di zona negatif pada periode Triwulan II–2020 s.d. Triwulan I – 2021.
Bagaimana dengan kondisi kinerja Bank Umum dan BPR?
Bank Umum pada pada periode Triwulan II–2020 sd Triwulan IV-2020 mengalami pertumbuhan negatif dalam arti kata seret dalam penyaluran kredit walau pada akhirnya sejak periode Triwulan I-2021 s.d. Triwulan III-2021 telah mengalami pertumbuhan positif. Disini terlihat bank lebih memprioritaskan penanganan debitur yang mengalami “batuk-batuk” akibat terdampak pandemi Covid-19 melalui program relaksasi countercyclical POJK No.11 tahun 2020 yang diperbaharui dengan POJK No.48 tahun 2020 dan diperbaharui dengan POJK No.17 tahun 2021.
Sementara itu, tren Non-Performing Loan (NPL) Bank Umum mengalami kecenderungan peningkatan menjadi 3,35% yang tercermin pada grafik garis merah. Hal ini berdampak terhadap peningkatan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) oleh Bank akibat meningkatnya Loan at Risk (LaR) sehingga menyebabkan menekan kemampuan pencetakan laba dhi. Return on Assets (ROA) menjadi pada posisi 1,91%.
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) pun hampir mirip kondisi dengan dengan Bank Umum namun pertumbuhan negatif dari penyaluran kreditnya hanya terjadi pada triwulan II-2020 dan triwulan III – 2020, dan mulai triwulan IV-2020 pertumbuhan kreditnya mengalami pertumbuhan positif walaupun tipis. Kondisi Non-Performing Loan (NPL) BPR mengalami perbaikan di posisi 7,53% setelah pada triwulan II-2020 mencapai titik tertinggi pada posisi 8,44%. Penyisihan Penghapusan Aset Produktif (PPAP) BPR jika dihitung berdasarkan POJK No.33 tahun 2018 sebelum dikurangi nilai agunan, mengalami tren peningkatan akibat dengan tingginya NPL BPR sehingga menyebabkan tingkat Return on Asset (ROA) BPR lebih rendah dibandingkan Bank Umum atau diposisi 1,76% di posisi September 2021.
Secara Umum, Bank Umum maupun BPR perlu meningkatkan Control Management dimana salah satunya adalah dengan memonitor perkembangan usaha (first way out) dari debitur dengan menerapkan Recovery Management yang efektif dalam penanganan debitur yang bermasalah secara win-win solution.
Dalam pelaksanaan monitoring debitur, baik Bank Umum maupun BPR secara konsisten melaksanakan Early Warning Signal (EWS) secara ketat terhadap debitur yang diindentifikasi memiliki potensi bermasalah. Penerapan EWS perlu disempurnakan lagi tidak hanya 4 aspek dhi. Banking Warning Sign, Financial Warning Sign, Operation Warning Sign dan Management Warning Sign, namun sebagai lesson learn saat pandemi perlu ditambahkan 2 aspek yang perlu ditambahkan yaitu Industry Dynamic Warning Sign dan Security Realization Warning Sign.
Mengapa demikian, Industry Dynamics Warning Sign ini terkait regulasi atau peraturan baik yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah maupun pusat yang berdampak terhadap terganggunya usaha debitur pada industri/sektor tertentu, sebagai salah satu contoh kita masih ingat dengan aturan PPKM level 4/5 yang membatasi orang berkerumun dan ketatnya orang melakukan mobilisasi sehingga pada industri Horeka (Hotel, Restoran dan Café) sangat terdampak perolehan omsetnya. Sementara Security Realization Warning Sign adalah terkait dengan kontrol dari agunan (Aset Tetap, Persediaan dst) dimana dengan kondisi daya beli menurun, nilai ekonomis agunan bank banyak terkoreksi dan tidak sedikit terjadi saat Bank Umum melakukan lelang jaminan, nilai transaksi agunan nilainya tiddak dapat menutup seluruh kewajiban debitur.
Bank Umum dan BPR perlu meningkatkan kompetensi pegawainya dalam melakukan Risk & Relationship Management yaitu kemampuan menganalisa serta memitigasi risiko secara komprehensif yang lebih mendetail dalam melakukan analisa kredit debitur, mengapa demikian karena kondisi ekonomi masih dihantui dengan ketidakpastian. Pihak manajemen Bank Umum dan BPR pun perlu mempertajam dalam melakukan Strategic Management dalam merencanakan Bisnis Bank dengan lebih hati hati, mulai melakukan update kebijakan dan prosedur perkreditan (SOP) dengan mempertimbangkan 4 C (Change dari Teknologi, Ekonomi, Pasar, Sosial budaya, Regulasi/peraturan, Competitor, Customer dan Company). Kebijakan manajemen portfolio yang baik serta penetapan pricing yang kompetitif dan menguntungkan. Hal ini tertuang dalam model Credit Management Model dan Problem Loan Recovery Model sebagaimana gambar dibawah ini.
Bank Umum dan BPR perlu melakukan management portfolio kredit yang baik dengan menerapkan space available kredit per sektor ekonomi sebagai implementasi manajemen risiko bank. Merujuk kepada kondisi pertumbuhan PDB dan NPL Bank per sektor ekonomi posisi September 2021, terekspos bahwa Sektor Penyediaan Akomodasi Makanan Minuman, Industri Pengolahan, Pertambangan dan Perikanan memiliki tingkat NPL di atas 5% walaupun kondisi pada sektor ekonomi tersebut mengalami pertumbuhan PDB. Kalaupun Bank Umum dan BPR akan memprosesdebitur pada sektor-sektor tersebut, maka disarankan untuk lebih detail dalam menganalisa serta memitigasi risiko nya, dan memilih debitur minimal 10 pemain dominan yang telah memiliki pengalaman berusaha yang mumpuni.
Sumber : Badan Pusat Statistik 5 November 2021 & SPI September 2021 Otoritas Jasa Keuangan (diolah)
Kondisi setiap daerah/provinsi NPL per sektor ekonomi dibandingkan pertumbuhan PDB-nya akan berbeda-beda sehingga setiap bank yang berada di daerah dapat mengacu kepada kinerja kredit per sektor ekonomi di daerahnya masing-masing. Kuncinya adalah kemampuan SDM dalam mencari dan mengolah data sebagai bahan informasi untuk digunakan pengambilan keputusan manajemen.
Akhirnya bagaimana menyikapi kondisi tahun 2022, dimana pemerintah telah memproyeksikan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia berkisar di angka 4,7%-5,5%, kita perlu hati hati dan agile adaptation setiap saat untuk merespons kondisi terkini. Perang dagang antara China dan Negara Barat akan tetap berlangsung, dampak kebijakan tapering The Federal Reserve (The Fed) belum dirasakan secara nyata, kondisi penyebaran virus Omicron belum teruji penanganannya (lesson learned saat Covid-2019 pada 14 Maret 2020 yang booming di bulan Agustus 2020), serta regulasi-regulasi dari regulator dan pemerintah yang akan keluar sepanjang tahun 2022, terlebih kebijakan relaksasi penanganan kredit bermasalah countercyclical dhi, POJK Nomor 17 dan POJK Nomor 18 yang diperpajang sampai dengan tahun 2023 menandakan terdapat ada indikasi kondisi ekonomi belum stabil sepanjang tahun 2022 yang membayang-bayangi optimisme pertumbuhan ekonomi yang dibangun oleh pemerintah.
Mengutip statement Otoritas Jasa Keuangan (OJK), maka perbankan perlu memperkuat struktur dan keunggulan kompetitif, melakukan tranformasi digital dalam merespons kebutuhan nasabah, penguatan peran perbankan dalam perekonomian di daerah dan nasional serta Penguatan pengaturan, perizinan dan pengawasan. Hal ini akan tercipta jika dibangun melalui leadership dan kemampuan change agent dari para pimpinan, meningkatkan kemampuan dan kompetensi SDM melalui pendidikan/pelatihan/coaching/mentoring, peningkatan infrastruktur teknologi dan berkolaborasi dengan mengedepankan win-win solution untuk menjawab tantangan di tahun 2022.
Yan Indrayana, S.E, M.M
Praktisi Perbankan dan National Certified Trainer