Kisah Tambang di Babel dan PT Timah yang Penuhi Kewajiban Reklamasi
Panitia Kerja (Panja) Timah Komisi VI DPR memanggil sejumlah pihak untuk menjelaskan masalah pertambangan timah di Kepulauan Bangka Belitung (Babel) dan masalah hukumnya yang sedang ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung). Dari berbagai ahli itu, Panja Timah pun ikut memanggil Wakil Ketua Asosiasi Industri Timah Indonesia Aldan Jalil untuk menjelaskan sejarah dan masalah timah di Babel.
Soal pertambangan timah di Kepulauan Babel, kata Aldan, telah dimulai sejak 1918. Dan itu ditemukan dari kakek moyang dulu karena ada kegiatan berkebun serta berpindah ke Babel.
“Kemudian dibakar yang kemudian timbullah lempeng-lempeng timah,” kata Aldan di hadapan Panja Timah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (13/6).
Hasil dari pembersihan lahan itu, kata Aldan, pemerintahan Belanda ketika itu mengetahui lempengan-lempengan itu merupakan timah dan selanjutnya masyarakat berbondong-bondong menambangnya. “Kemudian para penjajah kita menukarkannya. Dari situ rakyat sudah menambang. Di Babel itu sangat luar biasa pertambangan ini, akhirnya membudaya. Dari zaman Belanda, kita merdeka, bahkan terakhir di UU 11 tahun 1967 itu tentang monopoli itu juga terjadi aktivitas pertambangan,” kata Aldan.
Pemerintahan Belanda ketika itu, lanjut Aldan, lantas memperkerjakan masyarakat agar terlibat dalam pertambangan ini. Munculnya undang-undang otonomi daerah lebih memperkuat lagi posisi masyarakat untuk menambang, termasuk ada pengusaha pengusaha besar di situ.
Akan tetapi, kata Aldan, dalam perjalanannya hingga saat ini banyak masalah yang terjadi di pertambangan. “Jadi sebetulnya Bangka Belitung itu sudah membudaya tambang rakyat ini. Tetapi manfaatnya luar biasa bagi masyarakat, kemudian karena perusahaan ada kewajiban CSR itu, sehingga Babel itu sebenarnya ada timah ini cukup makmur. Babel itu sempat menjadi penghasil, pertumbuhan ekonominya tinggi, bahkan nomor satu di Sumatera, dan nomor 4 di Indonesia,” tambah Aldan.
Dengan adanya tindak pidana korupsi di PT Timah Tbk, kata Adnan, yang awalnya merugikan negara sekitar Rp 127 triliun karena faktor lingkungan pertambangan, justru membuat ekonomi Babel anjlok saat ini. “Jadi kalau kita lihat dari segi ekonomi, Bangka Belitung itu anjlok sangat luar biasa atas kejadian (kasus timah) seperti ini, bahkan di Sumatera menjadi terendah pertumbuhan ekonominya. Nah ini, menjadi masalah-masalah kita,” kata Aldan.
Karena itu, kata Aldan, pemaparannya terkait tambang timah itu meliputi aspek sejarah, budaya dan lingkungan. “Seperti yang disampaikan tadi, kondisi lingkungannya luar biasa. Nah kemudian, dari mana angka Rp 127 triliun itu? Karena kalau dihitung dari pertambangan, itu ada kewajiban yang namanya kewajiban reklamasi dan pasca-tambang yang disetorkan kepada pemerintah. Ada duit kan sebetulnya kita, karena mereka ada kewajiban di situ,” kata Aldan.
Berdasarkan aturan, kata Aldan, perusahan-perusahaan tambang harus memenuhi kewajiban reklamasi bila terjadi kerusahan lingkungan walau faktanya hanya sedikit perusahaan memenuhi kewajibannya. Dari sejumlah perusahaan itu, Aldan menyebut hanya PT Timah yang melaksanakan kewajiban reklamasi itu.
“Jadi bila terjadi kerusakan-kerusakan yang ada di pertambangan itu ada kewajiban untuk mereklamasi, meski saat ini tidak semua, tapi sebagian yang menjalankan itu. Tapi, itu sudah ada seperti PT Timah. PT Timah itu, setiap tahunya memiliki rencana reklamasi. Bahkan di dalam rencana anggaran biaya itu harus memiliki jaminan. Mereka tidak bisa ekspor bila tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban reklamasi,” kata Aldan.
Di samping Aldan, Panja Timah Komisi VI juga memanggil Wakil Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia, Sudirman Widhy Hartono, Ketua Asosiasi Eksportir Timah Indonesia Harwendro Adityo Dewanto, pakar TPPU Yenti Garnasih dan Irine Handika.