Harga Minyak Negatif, Ini Kata Rudi Rubiandini
Dampak pandemi Covid-19 kini benar-benar terasa ke semua sektor perekonomian. Termasuk sektor energi. Bahkan pada pekan lalu, harga minyak mentah di Amerika Serikat (AS) menyentuh level terendah sepanjang sejarah: sekitar US$ – 38 per barel.
Penyebabnya karena permintaan terhadap minyak mentah anjlok tajam. Sementara pasokan minyak sedang melimpah. Benar, harga negatif itu hanya berdampak jangka pendek. Hanya 2 hari bahkan. Lalu, apa sebetulnya yang terjadi dengan fenomena itu?
“Itu biasa terjadi di akhir bulan. Transaksi terakhir. Ditambah situasi faktual hari ini, pembeli di bulan Mei itu tidak ada. Pedagang tidak mungkin membuang minyak ke laut, sementara tangki penampungan masih penuh. Jadi, biar laku dijual dengan harga berapapun,” tutur mantan Menteri ESDM dan Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini dalam diskusi virtual langsung bertajuk “Harga Minyak Negatif: Apa, Mengapa dan Sampai Kapan?”, Senin (27/4).
Rudi menuturkan, harga minyak mentah telah mengalami penurunan sebelum wabah virus corona meluas. Itu karena persaingan antara Arab Saudi dan Rusia. Kedua negara iu sama-sama menaikkan produksi minyaknya. Untuk Saudi sebanyak 1,5 juta barel per hari dan Rusia sebanyak 700 ribu barel per hari.
Kendati begitu, kata Rudi, harga minyak mentah hanya turun ke level sekitar US$ 50 per barel. Namun, dampak corona membuat harga jatuh lebih dalam lagi hingga ke level sekitar US$ 20 per barel. Untuk menjaga harga, Amerika Serikat menganjurkan agar memangkas produksi hingga ke 9,7 juta barel per hari.
Kesepakatan ini tercapai antara AS, Saudi dan Rusia. Inilah 3 negara dengan produksi minyak tertinggi di dunia. AS bisa mencapai produksi 18 juta barel per hari. Sementara Saudi mencapai 12,5 juta barel per hari dan Rusia 11,5 juta barel per hari.
Pemangkasan sekitar 9,7 juta barel per hari itu dinilai kurang berpengaruh mendorong harga minyak mentah, kata Rudi. Karena itu, muncul gagasan untuk memangkas produksi hingga 20 juta barel per hari.
Di sisi lain, kata Rudi, harga produksi minyak mentah di beberapa negara masih tinggi termasuk di Indonesia. Kondisi ini tentu mengharuskan semua negara berbenah termasuk Indonesia. Di Indonesia itu biaya produksi mencapai sekitar US$ 20 per barel. Di Inggris mencapai US$ 40 per barel. Di AS pun sama.
“Kita belum tahu ini akan sampai kapan. Namun, berdasarkan skenario optimistis, maka situasi normal atau kebangkitan harga minyak mentah baru bisa naik lagi sekitar 3-4 bulan ke depan,” katanya.