Kontroversi Ojol Dalam Revisi UU LLAJ: Antara Inovasi dan Kesejahteraan Sopir

0
408
Reporter: Kristian Ginting

Lebih dari satu dekade yang lalu, perusahaan UberCab “meluncur” di jalan raya San Fransisco, Amerika Serikat (AS). UberCab adalah perusahaan aplikasi yang membawa sebuah taksi atau angkutan umum ke telepon pintar (smartphone) masyarakat. Sejak saat itu, perusahaan yang kemudian dikenal sebagai Uber tersebut menyebar layak “virus” ke seluruh dunia. Beroperasi di 58 negara, termasuk di Indonesia, perusahaan ini pada tahun 2016 telah bernilai sekitar US$ 60 miliar.

Kehadiran Uber sebagai angkutan berbasis aplikasi online tentu saja “mengguncang” bisnis taksi atau transportasi umum. Selain karena tarifnya yang murah itu, keberadaannya disebut ilegal karena menabrak sejumlah aturan.

Yang menarik, kehadirannya yang ditanggapi pro dan kontra itu, dari sudut pandang penumpang rupanya menjadi anugerah. Tidak saja karena tarifnya murah, juga karena armadanya tampaknya jauh lebih manusiawi: bersih, sopirnya sopan, dan pembayarannya juga dapat menggunakan sistem elektronik.

Seperti di negara asalnya, kehadiran Uber pada 2014 di Jakarta juga menuai kontroversi. Itulah salah satu pekerjaan rumah mendesak bagi Budi Karya Sumadi ketika pertama kali ditunjuk menggawangi Kementerian Perhubungan.

Ada pertarungan bisnis yang sengit di sektor angkutan darat di berbagai wilayah Indonesia yang harus segera didamaikan. Keberadaannya disebut menjadi ancaman bagi industri taksi konvensional dan bahkan bagi sopirnya.

Memang, Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang mengalami persoalan untuk mengatur angkutan berbasis aplikasi online. AS dan negara-negara di Eropa juga punya masalah serupa. Dan hasil kajian Harvard Business Review pada Juni 2017 mengungkapkan, betapa berbagai negara kesulitan mengatur angkutan berbasis aplikasi online itu.

Seperti di AS, terlebih karena kondisi geografis di DKI Jakarta – infrastruktur jalan dan pendekatan teknologi informatika – moda transportasi hibrida ini segera menjadi favorit sarana mobilitas warga. Di sisi lain, masifnya ekspansi angkutan berbasis aplikasi online dianggap menggerus pendapatan angkutan konvensional dan mengancam keberadaannya. Tak jarang perselisihan di akar rumput menjadi sangat sengit dan berujung bentrok karena menyangkut hajat hidup – demonstrasi dibalas demonstrasi, razia dibalas razia, dan perusakan dibalas tindakan serupa.

Baca Juga :   Kolaborasi Gojek dan Unilever Penuhi Kebutuhan Masyarakat Saat Pandemi

Di samping Uber, perusahaan aplikasi lokal muncul sebagai penantang, yakni GoJek atau lebih populer disebut Gojek. Gojek berada di bawah naungan PT Aplikasi Karya Anak Bangsa yang dibentuk Nadiem Makarim pada 2010. Nadiem kini menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Indonesia.

Berbeda dengan Uber yang bermain di wilayah taksi online, Gojek membawa revolusi transportasi terhadap ojek sepeda motor, yang telah beroperasi sangat lama di tengah masyarakat Indonesia. Perusahaan ini bekerja sama dengan pengendara ojek sepeda motor yang berpengalaman di Jakarta.

Dalam perkembangan, mereka tidak hanya diterima di Jakarta, tapi juga di Bandung, Bali, dan Surabaya. Kehadiran mereka disebut sebagai solusi utama dalam hal pengiriman barang, pesan antar-makanan, dan kendaraan yang paling efektif menerobos kemacetan lalu-lintas.

Ojol
Akan tetapi, ojek online (Ojol) seperti taksi online, kehadirannya sejak awal menjadi kontroversi karena menabrak sejumlah aturan. Meski masyarakat sudah puluhan tahun menggunakan sepeda motor untuk angkutan secara informal, namun dinilai tidak bisa dan tidak layak sebagai transportasi umum.

Menurut anggota Komisi V DPR, Sudewo, selain karena tidak ada dasar hukumnya, sepeda motor berbasis aplikasi online alias Ojol itu rawan dengan kecelakaan. Data Korlantas Polri, misalnya, menunjukkan angka kecelakaan lalu lintas di Indonesia mencapai 103.645 kasus pada 2021 dan 73% disumbang sepeda motor.

“Sangat tidak layak kalau sepeda motor menjadi kendaraan umum untuk transportasi,” ujar Sudewo beberapa waktu lalu.

Baca Juga :   Kecepatan Pembahasan RUU Perampasan Aset Tergantung Pemerintah, Ini Alasannya

Sudewo mengatakan, selain ketidakjelasan aturan transportasi umum berbasis aplikasi, keberadaan Ojol dari sisi kemitraan dan kesejahteraan juga dinilai jauh dari kata layak. Pihak perusahaan, dalam hal ini aplikator terkesan “memanfaatkan” sopir Ojol sebagai mitra.

“Kesejahteraan sopir (Ojol) terabaikan, karena upah atau komisi yang diberikan aplikator di bawah standar. Sebenarnya standarnya berapa? Kan tidak jelas,” kata Sudewo lagi.

Karena itu, kata Sudewo, Ojol sebaiknya tidak masuk dalam kategori transportasi umum dan tidak dimasukkan dalam pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). Kalau pun diatur, Ojol dinilai cukup lewat peraturan Menteri perhubungan sehingga tidak dimasukkan dalam UU LLAJ.

Menurut Sudewo, perusahaan aplikator yang sekaligus operator dari jasa transportasi online, kerap menempatkan mitra sopir dalam posisi yang dirugikan. Pada awal kemunculannya, kesejahteraan sopir relatif bagus. Tetapi, dalam perjalanannya kesejahteraan sopir terus menurun.

“Saat kemunculannya peluang ini sangat menggiurkan, dengan promosi bahwa hasil yang akan didapat minimal Rp 8 juta, itu di tahun 2015-2016 sehingga banyak yang beralih profesi, mengundurkan diri memilih menjadi Ojol. Tetapi setelah berjalan, itu pendapatannya sangat menurun,” beber Sudewo.

Seperti yang diungkapkan Sudewo itu, gagasan Nadiem sejak memunculkan Gojek ingin memodernisasi ojek dari sektor transportasi informal agar bisa beroperasi secara profesional. Awalnya, perusahaan ini juga membuat skema bagi hasil antara perusahaan aplikasi dan pengemudi ojek sepeda motor. Sejak muncul, sistem pembayaran Gojek lebih sederhana dibanding Uber yang menggunakan kartu kredit. Gojek tampaknya memahami betul budaya masyarakat Indonesia yang lebih suka membayar tunai.

Seperti Sudewo, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai pada awal kemunculan angkutan berbasis aplikasi khusus Ojol menabrak beberapa aturan. Dari sisi tarif, misalnya, YLKI menyebut pihak operator bisa menaikkan tarif secara sepihak. Menaikkan tarif secara sepihak itu lantas disebut melanggar persaingan usaha yang sehat.

Baca Juga :   Grab Bareng Sido Muncul Bagi-bagi Sembako

Lalu, YLKI juga menilai angkutan berbasis aplikasi online telah melakukan predatory pricing, yakni suatu strategi yang dilakukan dengan cara mengenakan tarif sangat rendah dengan tujuan mematikan pesaing. Setelah berhasil memimpin pasar, mereka kemudian mengenakan tarif sesukanya. Namun, strategi yang diterapkan angkutan berbasis aplikasi online itu sangat cerdik untuk mengabaikan perundang-undangan. Dalam kajian Harvard Business Review khusus untuk Uber menggambarkan model bisnis melalui aplikasi ini sebagai inovasi.

Audit
Berbekal berbagai kajian itu, menurut Sudewo, pemerintah perlu mengaudit perusahaan aplikator transportasi online itu. Soalnya, ada perusahaan aplikator juga merangkap sebagai operator sehingga sulit untuk dipertanggungjawabkan. Sebab, memposisikan diri atas kewajiban dan haknya sebagai aplikator, tetapi tidak mempertanggungjawabkan kewajiban dan haknya sebagai operator.

“Mestinya dilakukan audit aplikator dan operator. Dan harus dipisahkan, aplikator itu tidak boleh merangkap sebagai operator, supaya mereka yang menggunakan teknologi juga membayar pajak. Siapapun kan harus taat, menjalankan usaha apapun,” kata Sudewo.

Komisi V DPR disebut menargetkan pembahasan revisi UU LLAJ rampung pada tahun ini. Apalagi RUU LLAJ menjadi satu-satunya pembahasan legislasi yang dibahas Komisi V.

“Kebetulan saya ketua pansusnya, saya targetkan tahun 2022 revisi selesai. Supaya nanti ada pengaturan angkutan online, soal registrasi dan identifikasi, soal kewenangan dan seterusnya. Juga mengenai angkutan barang Over Dimension and Over Load (ODOL),” kata Ketua Komisi V Lasarus.

 

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics