OJK Cabut Izin Usaha Satu BPR di Sumatera Barat

0
46

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kembali mencabut izin usah Bank Perekonomian Rakyat [BPR], yang ketiga dalam dua pekan terakhir.

Melalui Keputusan Anggota Dewan Komisioner OJK Nomor KEP-100/D.03/2024 tanggal 11 Desember 2024, OJK mencabut izin usaha PT Bank Perkreditan Rakyat Pakan Rabaa Solok Selatan, bank yang beralamat di Kabupaten Solok Selatan, Provinsi Sumatera Barat.

“Pencabutan izin usaha PT BPR Pakan Rabaa Solok Selatan merupakan bagian tindakan pengawasan yang dilakukan OJK untuk terus menjaga dan memperkuat industri perbankan serta melindungi konsumen,” kata Kepala OJK Provinsi Sumatera Barat Roni Nazra, dikutip dari keterangan pers, Rabu (11/12).

Sebelum izinnya dicabut, pada 6 Mei 2024, OJK telah menetapkan PT BPR Pakan Rabaa Solok Selatan sebagai bank dalam status pengawasan Bank Dalam Penyehatan karena memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum  (KPMM) kurang dari 12 persen.

Selain itu, bank tersebut juga memiliki Cash Ratio (CR) rata-rata selama 3 bulan terakhir kurang dari 5 persen, serta Tingkat Kesehatan (TKS) BPR memiliki predikat Tidak Sehat.

Selanjutnya, pada 26 November 2024, OJK menetapkan PT BPR Pakan Rabaa Solok Selatan dalam status pengawasan Bank Dalam Resolusi (BDR) dengan pertimbangan bahwa OJK telah memberikan waktu yang cukup kepada Pengurus dan Pemegang Saham PT BPR Pakan Rabaa Solok Selatan untuk melakukan upaya penyehatan khususnya dalam mengatasi permasalahan permodalan dan likuiditas. 

Namun, Pengurus dan Pemegang Saham BPR tidak dapat melakukan penyehatan BPR.

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada 4 Desember 2024 kemudian memutuskan untuk tidak melakukan penyelamatan terhadap PT BPR Pakan Rabaa Solok Selatan dan meminta kepada OJK untuk mencabut izin usaha BPR tersebut.

Sesuai keputusan LPS itu, OJK melakukan pencabutan izin usaha PT BPR Pakan Rabaa Solok Selatan. 

Dengan pencabutan izin usaha ini, LPS akan menjalankan fungsi penjaminan dan melakukan proses likuidasi sesuai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.

Baca Juga :   OJK dan IJK Pastikan Dukungan kepada UMKM dalam Program Gernas BBI

“OJK mengimbau kepada nasabah PT BPR Pakan Rabaa Solok Selatan agar tetap tenang karena dana masyarakat di Perbankan termasuk BPR dijamin LPS sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” tutup Roni Nazra.

Sebelumnya, pada 5 Desember OJK mencabut izin usaha PT Bank Perkreditan Rakyat Duta Niaga.

OJK juga mencabut izin usaha PT BPRS Kota Juang Perseroda pada 29 November.

Selain ketiga BPR dan BPRS tersebut, pada 2024 ini OJK telah mencabut izin usaha beberapa BPR/BPRS yaitu:

  1. Koperasi BPR Wijaya Kusuma
  2. PT BPR Usaha Madani Karya Mulia
  3. PT BPR Bank Pasar Bhakti
  4. Perumda BPR Bank Purworejo
  5. PT BPR EDCCASH 
  6. PT BPR Aceh Utara
  7. PT Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Saka Dana Mulia
  8. Koperasi PT BPR Sembilan Mutiara
  9. PT BPR Bali Artha Anugerah
  10. PT BPR Dananta
  11. PT BPR Bank Jepara Artha
  12. PT Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Mojo Artho Kota Mojokerto (Perseroda).

Selain itu, OJK juga melakukan penggabungan beberapa BPR/BPRS yaitu: 

  1. PT BPR Rarat Ganda dan PT BPR Tahap Ganda ke dalam PT BPR Tiurganda
  2. PT BPR Anugrah Swakerta, PT BPR Luhur Langgeng Utama, PT BPR Panca Arta Graha, dan PT BPR Fidusia Civitas ke dalam PT BPR Artharindo

Per Juni 2024, mengutip data  Laporan Surveillance Perbankan Indonesia – Triwulan II 2024, terdapat 1.383 BPR dengan 8.304 jaringan kantor. Dari jaringan kantor tersebut, 5.994 di antaranya merupakan kantor bank yang meliputi Kantor Pusat (KP), Kantor Cabang (KC), dan Kantor Kas (KK).

Pada periode yang sama, jumlah BPRS sebanyak 173 BPRS, menurun dari 174 pada Maret 2024, tetapi bertambah dari 171 pada Juni 2023.

Baca Juga :   Tersangka Dugaan Kredit Fiktif di Bank NTT Melawan, OJK Kalah Praperadilan di PN Jakarta Pusat

Meski sejumlah BPR dicabut izinnya karena masalah permodalan, tetapi secara umum permodalan BPR relatif cukup solid dan memadai untuk menyerap potensi risiko yang dihadapi. Hal tersebut terlihat dari indikator CAR BPR yang tinggi sebesar 31,75%, jauh di atas KPMM dan sedikit menurun 1 bps dari tahun sebelumnya sebesar 31,76%. Penurunan CAR diakibatkan oleh melambatnya pertumbuhan modal, sejalan dengan turunnya laba.

Demikian juga permodalan BPRS, secara umum masih cukup solid dengan CAR sebesar 23,09%, meskipun turun 77 bps dibanding tahun sebelumnya yang tercatat sebesar 23,86%.

Kinerja Melambat

Kinerja keuangan BPR dan BPRS pada 2024 ini secara umum melambat dibandingkan tahun sebelumnya.

Aset BPR pada Juni 2024 tumbuh 5,73% (yoy) menjadi Rp196,33 triliun, cenderung melambat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 7,89% (yoy).

Perlambatan pertumbuhan aset tersebut sejalan dengan Dana Pihak Ketiga [DPK] yang juga tumbuh melambat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. DPK BPR pada Juni 2024 tumbuh 6,68% (yoy) menjadi Rp139,341 triliun, melambat dibandingkan pada Juni 2023 yang tercatat tumbuh 8,30% (yoy).

Perlambatan DPK tersebut didorong oleh komponen Deposito yang tumbuh 6,66% (yoy), namun turun dari pertumbuhan periode tahun sebelumnya yang mampu mencapai 9,14% (yoy). Sementara itu, komponen Tabungan menunjukkan kinerja positif dengan mencatatkan pertumbuhan sebesar 6,74% (yoy), lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan tahun sebelumnya sebesar 6,36% (yoy). Di sisi lain, suku bunga tabungan justru sedang dalam tren penurunan, total turun 11 bps dari tahun sebelumnya menjadi 2,20% dari 2,31% pada Juni 2023.

Kredit BPR pada Juni 2024 tumbuh 6,52% (yoy), atau melambat dibandingkan tahun sebelumnya yang mampu tumbuh 9,97% (yoy). Mayoritas kredit BPR disalurkan sebagai kredit produktif (56,41%), yang terdiri dari Kredit Modal Kerja (KMK) (47,87%) dan Kredit Investasi (KI) (8,54%), sedangkan sisanya disalurkan sebagai Kredit Konsumsi (KK) (43,59%).

Baca Juga :   Benarkah Industri Pinjaman Online Masih Sehat? Simak Penjelasan OJK

Rentabilitas BPR pada Juni 2024 turun dibanding tahun sebelumnya, tercermin dari rasio ROA sebesar 1,09% atau turun 45 bps dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 1,54%.

Seiring dengan penurunan rentabilitas, efisiensi BPR juga tercatat menurun, tecermin dari naiknya rasio BOPO sebesar 361 bps menjadi 89,53% dari 85,92% pada tahun sebelumnya. Peningkatan rasio BOPO disebabkan oleh kenaikan beban operasional yang tercatat tumbuh sebesar 9,99% (yoy) dan melampaui pertumbuhan pendapatan operasional sebesar 5,55% (yoy).

Bagaimana dengan BPRS?

Pada Juni 2024, aset BPRS tercatat sebesar Rp23,02 triliun atau tumbuh 10,38% (yoy), melambat dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya sebesar 17,71% (yoy).

Sebagian besar BPRS memiliki total aset >Rp10 miliar (165 BPRS dari 173 BPRS). Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya di mana jumlah BPRS dengan total aset pada kelompok ini sebanyak 163 BPRS.

Sumber dana BPRS didominasi oleh DPK sebesar Rp15,29 triliun. Pada Juni 2024, DPK BPRS tumbuh 10,14% (yoy), melambat dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 16,48% (yoy).

Pada Juni, pembiayaan BPRS mencapai Rp17,98 triliun, tumbuh sebesar 12,75% (yoy) melambat dari periode yang sama pada tahun sebelumnya yang tumbuh 21,73% (yoy).

Per Juni 2024, rentabilitas BPRS mengalami penurunan yang tecermin dari rasio ROA turun 56 bps menjadi 1,54% dari 2,10% pada tahun sebelumnya, disebabkan oleh melambatnya laba BPRS. Penurunan rentabilitas sejalan dengan pemburukan efisiensi BPRS tecermin dari rasio BOPO yang meningkat tinggi 660 bps menjadi 90,91%, jauh meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 84,31%.

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics