Mengenal Shooper, Aplikasi Pelacak Harga Termurah di Toko Offline

0
3003
Reporter: Petrus Dabu

Harga satu jenis barang antara satu toko, entah supermarket atau minimarket, bisa berbeda-beda, meskipun jarak antar toko tersebut berdekatan.  Sayangnya, banyak konsumen yang tak menyadari ini atau kalau pun tahu, tetapi malas atau tidak punya cukup waktu untuk mengecek dari satu toko ke toko yang lain. Masalah inilah yang hendak dipecahkan oleh aplikasi shooper yang sudah dilakukan soft launch pada 28 Januari lalu dan resmi diluncurkan di Jakarta, Rabu (29/4) secara daring. Dengan mengetahui perbedaan harga antar toko,  konsumen bisa mendapatkan harga yang termurah, yang menguntungkannya.

Bermula dari kesulitan keuangan

Aplikasi shooper ini didirikan oleh Oka Simanjuntak. Awal mula berdirinya cukup sentimental. Sebelum mengembangkan aplikasi shooper ini, Oka aktif di dunia usaha, tetapi berakhir bangkrut.  Ia pun mengalami kesulitan keuangan.

“Saya sampaikan kepada istri saya, kita harus berhemat. Kita harus cek harga sebelum beli barang, sebelum ke supermarket harus tahu dulu harganya berapa, supermarket mana yang lebih murah” ujar Oka saat peluncuran resmi shooper secara daring, Rabu (29/4).

Karena itulah, ia dan istrinya pun melakukan shop around dari satu supermarket atau minimarket ke supermarket atau minimarket lainnya untuk membandingkan harga. Dari situlah Oka tahu bahwa ternyata  harga barang di supermarket di Indonesia ini berbeda-beda. Even, supermarket itu jaraknya berdekatan atau berhadap-hadapan.

“Tentunya sangat susah melakukan perbandingan harga seperti itu karena jaraknya dan secara fisik harus pergi dulu,” ujar Oka.

Cara lain pun dilakukan yaitu dengan bertanya-tanya ke teman, tetangga atau kenalan yang baru berbelanja. Informasi dari yang baru berbelanja ini sangat berarti bagi Oka dan istri untuk melihat perbedaan harga barang antar toko.

Keluarga yang tinggal di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan ini akhirnya berkenalan dengan komunitas ibu-ibu rumah tangga di kawasan itu yang biasa berbagai informasi soal harga barang kebutuhan rumah tangga dari berbagai supermarket atau minimarket terdekat. Para ibu rumah tangga ini saling berbagi informasi harga barang yang mereka beli di supermarket atau minimarket melalui grup WhatsApp, yang  tentu saja memiliki limitasi jumlah anggota.

“Lalu, dalam kondisi kami saat itu sangat sulit secara keuangan, kami berpikir kenapa tidak menggunakan teknologi canggih supaya lebih banyak masyarakat bisa berbagi informasi harga supaya semua orang bisa cari harga termurah itu di mana. Jadi di situlah bermulahnya shopper ini. Maka kami buat sebuah platform, kami coba dulu dengan beberapa ibu-ibu, ternyata berhasil,”ceritanya.

Baca Juga :   Diguyur 100 Juta Euro, Bolt Siap Ambil Pangsa Pasar Uber

Cara kerja aplikasnya mudah. User atau pengguna meng-upload foto struk belanja ke aplikasi shooper. Lalu, dengan menggunakan teknologi  Human Augmentation yang merupaka kolaborasi antara Artificial Intelligence dengan Human Interaction, data dari struk belanja tadi di-capture dan diolah untuk kemudian dipersembahkan kembali ke user.

“Jadi user-user kami bisa cek harga sebelum ke supermarket,” ujarnya.

Aplikasi shooper saat ini sudah tersedia di android. Oka mengatakan rencananya Mei nanti versi IOS-nya akan diluncurkan.

Mengapa sasar ke toko offline?

Oka mengatakan shooper pertama-tama bertujuan untuk membantu konsumen mencari harga termurah. “Orang mau cari barang, mau beli beras, mau beli kecap, mau beli mi instan, minyak goreng dan dan sebagainya harus  ke mana supaya lebih murah? Di sinilah shooper itu memanfaatkan teknologi canggih,” ujarnya.

Meskipun saat ini belanja online sedang digandrungi masyarakat terutama masyarakat urban, Oka mengatakan aplikasi ini menyasar toko-toko offline seperti supermarket, minimarket atau toko lainnya yang menjual kebutuhan rumah tangga.

Pilihan menyasar toko fisik bukan tanpa dasar. Menurut Oka, nilai belanja offline masih jauh lebih besar dibandingkan belanja online.

Merujuk data Nielsen, yang dirilis tahun 2018 dan di-update tahun 2019, pangsa belanja di toko fisik masih menguasai 95% secara rupiah. Sedangkan belanja online itu masih sedikit, meskipun jumlah orang yang pernah belanja online secara persentase bisa saja tinggi. “Tetapi total belanja online jika diukur dari nilai rupiahnya itu kecil sekali, itu 3%. Dalam kondisi Covid-19 ini, angka itu naik dari 3% mungkin bisa naik 4% hingga 5% atau 6 %, naik dua kali lipat. Tetapi masih lebih kecil dibanding yang belanja di toko fisik,” ujarnya.

Hal itu terjadi karena menurut Oka masyarakat Indonesia yang berbelanja online rata-rata adalah kelas menengah ke atas. Karena kenyataannya, menurut dia, untuk kategori grosir atau barang keperluan sehari-hari, bila dibeli secara online harganya lebih mahal karena ada ongkos kirim.

“Porsi belanja rumah tangga untuk keperluan sehari-hari atau kategori gr0sir itu merupakan porsi belanja rumah tangga yang terbesar. Menurut data dari Bank Dunia, porsi belanja rumah tangga bisa sampai dengan 50% tergantung tingkat sosio-ekonomi, tetapi rata-rata 45%-48%. Di sinilah shooper memberikan niai tambah dengan membatu rumah tangga bisa hemat untuk kategori belanja mereka yang terbesar,” ujarnya.

Oka Simanjuntak, Founder and CEO Shooper/Ist

Fitur-fitur

Baca Juga :   Zoom Batasi Pengguna Baru di Tiongkok

Setelah soft launch pada akhir Januari lalu hingga saat ini, jumlah user yang sudah meng-install aplikasi shooper mencapai 1.200 user, 60% diantaranya menjadi user aktif. Sedangkan, jumlah struk belanja yang di-upload user sudah  lebih dari 10.000. Jumlah toko fisik yang sudah di-cover oleh shooper atau bisa dicek harganya ada 1.300 toko fisik dengan jumlah produk di atas 10.000 produk.

Saat ini shooper memiliki lima fitur dan ke depan akan terus dikembangkan. Pertama, fitur Find The Lowest Prices. Di fitur ini user bisa mencari harga barang yang termurah di toko fisik yang dekat dengan tempat tinggalnya. “Shooper ini menggunakan teknologi GPS jadi dia menghitung harga termurah di supermarket  dimana Anda berada,” ujarnya.

Fitur kedua adalah Universal Point Reward.  Dengan meng-upload struk belanja dari supermarket, minimarket atau toko barang kebutuhan sehari-hari lainnya di aplikasi shooper, user akan mendapatkan poin reward yang bisa ditukarkan dengan hadiah menarik maupun  voucer belanja.

Ketiga, Track & Manage Family Spending. Dengan fitur itu, user bisa mengetahui apa saja barang keperluan rumah tangga yang dibelanjakan. Kebutuhan tersebut dirinci lagi per kategori misalnya makanan, minuman, kebersihan dan lainnya. Aplikasi akan memperlihatkan barang apa yang paling banyak dibeli. Dengan data tersebut user bisa melakukan evaluasi dan mengatur perencanaan kebutuhannya. Fitur ini juga bisa melacak di toko mana saja user membeli barangnya.

Keempat, fitur Create & Share Shopping List. Dengan fitur ini user bisa membuat daftar barang yang dibutuhkan untuk dibelanjakan. Daftar itu bisa di-share atau dibagikan. Misalnya istri membagikan ke suami yang masih berada di luar rumah untuk membelikannya sebelum ke rumah.

Kelima, fitur Share Recipes Find Ingredients. Ini adalah fitur untuk berbagai resep masakan. “Di shooper saat ini sudah ada beberapa resep, tetapi sederhana saja dulu. Di setiap resep itu tentu ada cara masaknya dan yang paling keren adalah itu bahan-bahan untuk resep ini bisa dijadikan list belanja di shooper, lalu shooper mencarikan yang lebih murah,” ujar Oka.

Baca Juga :   Gojek Gandeng Allstars.id untuk Dukung Pemasaran Digital UMKM

Bagaimana Memonetisasi?

Oka mengatakan ada dua cara mereka menghasilkan uang dari shooper. Pertama adalah melalui data analitik. Shooper mengumpulkan data yang sangat besar terkait prilaku konsumen dan data-data itu sangat berharga.

“Meskipun kita tidak pernah memberikan data pribadi user kita kepada siapa pun karena kita akan protect data itu menggunakan kebijakan proteksi privasi berstandar internasional. Tetapi kami bisa melakukan segala macam data analitik yang sangat bermafaat untuk perusahaan-perusahaan besar agar mereka lebih memahami prilaku konsumen,” ujarnya.

Bagi user sendiri, data analitik ini juga penting. Dengan mengggunakan data analitik shooper bisa memberikan rekomendasi kepada rumah tangga produk yang tepat. Misalnya, di rumah itu ada bayi, yang diketahui oleh shooper berdasarkan prilaku berbelanja user. Pada saat yang sama user juga membelikan pembersih lantai yang tidak ramah balita. Dengan data tersebut, shooper memberikan rekomendasi ke user untuk membeli pembersih lantai yang ramah terhadap balita.

“Ke depan kita bisa melakukan segala macam analitik untuk memberikan rekomendasi, misalnya untuk mengurangi gula, inilah produk-produk yang tidak mengandung gula atau rendah gula. Itu salah satu cara data analitik yang sangat bermafaat buat user kami,” ujar Oka.

Monetisasi yang kedua adalah dengan iklan. Platform shooper bisa digunakan untuk iklan digital. Menurutnya, kelebihan beriklan di shooper adalah iklan lebih menyasar target yang tepat (targeted), sesuai dengan pola konsumsi dan prilaku berbelanja user. Jadi, iklan yang tampil pada satu user akan berbeda dengan user yang lain.

“Jadi kalau user kita itu wanita tentunya kita tidak pasang banner yang buat laki-laki. Atau keluarga yang anak-anaknya sudah besar semua, tentunya kita tidak akan pasang banner iklan yang untuk susu formula bayi misalnya,” ujarnya.

Ia mengatakan model bisnis yang dikembangkan shooper mirip dengan platform media sosial seperti Facebook dan Instagram.

“Hampir semua platform yang sukes seperti Facebook, Instagram dan yang lainnya itu banyak sekali melakukan analitik terhadap data-data yang mereka kumpulkan tentang user mereka. Meskipun mereka tidak pernah share data pribadi user, tatapi banyak sekali pola-pola yang mereka bisa temukan dengan cara user mereka itu berinteraksi di platform mereka. Data-data itu sangat penting dan data itulah yang mereka jual.  Bukan data pribadi, tetapi data pola prilaku konsumen yang mereka jual kepada perusahaan-perusahaan besar,” ujarnya.

Leave a reply

Iconomics